06. Aku akan Menembaknya

327 38 13
                                    

"Rahasiaku adalah dia."

***

"Jadi, tugas apa yang ingin Sensei berikan padaku?" Dian meraih buah apel, tersedia di meja makan. "Apa akan semenyenangkan seperti yang Sensei bilang?" tanyanya lagi.

Teras belakang terhubung langsung dengan ruang makan. Di kursi tunggal teras, Pak Hasan menurunkan koran, baru beberapa menit ia membaca. Namun, harus terhenti lebih cepat dari perkiraan.

Hasan tampak berpikir sesaat. Maniknya terhalang kacamata. Beberapa kerutan menggaris di bawah mata. Lelaki tua itu telah genap berusia 47 tahun. Dia menatap Dian dengan tersenyum apik.

"Ya."

"Jadi, apa?" Dian masih belum bisa menangkap maksud dari guru pribadinya selama 7 tahun.

"Kau akan sensei sekolahkan."

"APA?!" Dian terlonjak. Buah apel di genggaman terjatuh dan menggelinding. Mendekati sepasang kaki panjang milik ibu rumah tangga.

"Dian, bersihkan!" Heri menunjuk apel, menatap Dian nyalang.

Namun, gadis dengan kerudung coklat itu tak sedikit pun menghiraukan perintah. Dian memilih kembali menatap dalam jenderal perwira .

"Apa Sensei sudah gila? Aku tidak mau."

"Dengar, kau harus tahu hal hebat apa yang bisa kau perbuat di sana?" Hasan melipat koran, berjalan mendekat pada lawan bicara. Dia menarik satu kursi di meja makan, meminta Dian untuk duduk kembali.

"Klienku kali ini adalah klien lama. Dia merupakan pemilik perusahaan otomotif terbesar di Jakarta."

Dian menyimak dengan manik menjurus lurus. Menatap hamparan taman terawat milik Heri Kusuma. Tokoh ibu itu selalu marah, jika ada salah satu tanamannya rusak atau kekeringan. Biasanya, Dianlah yang menjadi tumbal kemarahan Ibu Heri.

"Sudah 5 tahun perusahaannya mengalami hal ganjil." Jenderal Hasan menerima sodoran kopi hitam dari Heri.

"Mobil dan motor yang perusahaannya produksi, selalu diterima klien dengan keadaan cacat. Padahal dia sendiri yang mengecek ulang paket barang yang akan dikirim."

"Terus?" Ridwan ikut bergabung.

"Dia curiga, pelakunya adalah bawahannya yang juga merangkap sebagai guru otomotif di sebuah sekolah di kota Garut."

"Jadi?" tanya Dian pada akhirnya.

"Kau akan kukirim ke sekolah itu untuk menyelidiki hal ini."

Senyum Dian mengembang.

"Kau akan memiliki identitas sebagai murid baru di kelas 11 Multi Otomotif di sana," lanjut sang jenderal.

"Setuju," cetus Dian dengan tangan kanan memukul meja.

"Kau itu perempuan," protes Heri tak setuju kelakuan Dian. Gadis asuhannya cenderung berperilaku kasar seperti laki-laki. Namun, Dian hanya merespon dengan mengibaskan tangan dan menatap Pak Hasan penuh minat.

"Jadi, kapan semua itu akan aku lakukan, Sensei?"

Hasan tersenyum dan mendekatkan wajah tuanya pada Dian. "Besok, apa kau siap?"

"Tentu!"

"Kalau begitu, apa kita akan pindah?" Heri menimpal.

Hasan kembali menegakkan tubuh. "Ya, saya sudah membeli rumah di perumahan terdekat."

Heri bangkit. "Ayo, bego! Kita siap-siap. Ada banyak barang yang perlu kita bawa."

"Tidak perlu," ucap Pak Hasan menghentikan pergerakan Heri. "Kau bisa pergi ke sana tanpa perlu membawa apa pun."

DianTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang