"Bukan masalah besar. Hanya lelah dan bosan."
***
Ada banyak hal yang bisa membuat kita merasa lebih baik. Menjadi sosok berharga, contohnya. Mungkin iya mungkin juga tidak, tetapi bagi Dian hal itu adalah hal tabu dan baru. Terlalu rumit dan tidak penting, begitu pikirnya.
Namun, memang benar sepertinya, tidak ada yang abadi. Terutama soal pemikiran. Bisa saja sewaktu-waktu berubah dan malah menjadi bumerang. Ah, tidak ada makhluk yang benar-benar tahu pasti tentang sejarah di masa depan.
Rio telah menjelaskan, bahwa tidak ada ruginya menjaga perasaan orang, tetapi apa itu perlu? Maksudnya, kenapa harus? Selama ini hidupnya baik-baik saja, walau selalu penuh dengan pertengkaran bersama dua pengasuh. Jadi, untuk apa Dian mengubah haluan?
Lupakan tentang mereka yang memilih bungkam. Lebih baik fokus saja pada tugas. Hanya itu penghiburnya sejak tiga hari lalu. Rasanya malas jika harus memulai berbincang dengan mereka yang jelas-jelas menetapkan jarak. Bahkan Surya ikut menjauh, dia tak lagi suka berkicau untuk mengganggu. Seolah benar-benar asing dan tak nyaman.
Bel istirahat berbunyi. Guru di depan membereskan barang bawaan lalu pamit. Dan meminta agar murid tidak lupa mengerjakan tugas darinya.
Berpencarlah para penghuni kelas. Beberapa ada yang menguap, meregangkan tubuh kaku karena sekitar dua jam lebih dipaksa untuk bertahan dan tetap fokus.
Dian membereskan alat tulis, berserakan di atas meja. Mengumpulkannya dan memasukkan kembali pada ransel hitam. Lalu bangkit dan keluar kelas. Menilik sekeliling yang tampak ramai dan rusuh seperti biasanya.
"Dian?" Gadis itu memutar mata dan menemukan ada Tari di sana. "Ke kantin bareng, yuk!" ajak Tari. Dian mengangguk, berjalan beriringan dengan Tari sekaligus satu gadis lain dengan wajah mirip orang Timur Tengah.
"Siapa dia?" Dian berbisik menanyakan identitas sosok lain di sisi Tari.
"Oh, iya, aku hampir lupa." Tari menepuk jidat lalu menarik gadis itu lebih mendekat. "Naa, kenalin, ini Dian." Ia menjeda dan membiarkan kedua temannya melempar senyum canggung. "Dan Dian, kenalkan, ini Risna," tambahnya lagi.
"Ayo! Salaman." Tari merangkul Dian dan Risna. "Aelah, gak perlu jaim ngapa? Kek biasanya aja, somplak dan tak berperikeotakan." Sepertinya, Dian benar-benar menemukan dirinya yang lain.
"Hay," sapa Risna pada akhirnya. Dian menyahut dan berbasa-basi sesaat. Tiga gadis itu lalu memutuskan untuk menuntaskan rasa lapar di kantin bawah. Menyantap mie ayam dan menikmati segelas besar es teh manis.
Hmm, memiliki teman ternyata tidak buruk juga.
Dian memainkan sedotan pada gelas besar. Ujung mainannya itu beradu dengan tiga potong es batu. Cukup menghibur, dengan Tari dan Risna, ia tidak perlu lagi merasa sendiri dan terasingkan.
"Di," panggil Tari dan Dian menyahut dengan deheman.
"Kamu lagi ada masalah, ya?" tebak Tari.
"Nggak ada, kenapa emang?" Dian menegakkan badan. Berusaha menepis kasar pemikiran Tari tentang dirinya yang kacau.
"Gak baik marahan. Mamahku bilang, nanti pajauh huma." Tari mengangguk meyakinkan. Meski dirinya sendiri pun tak mengerti tentang pepatah Sunda itu.
"Kamu marahan sama siapa?" Giliran Risna bersua. Ia melahap suwiran daging ayam berbumbu kecap dan mengunyahnya pelan. "Sama temen-temen cowokmu?" lanjutnya, mengorek informasi lagi.
"Temen-temennya emang cowok semua. Cuma kita yang cewe," sela Tari. Gadis pemesan siomay itu melepas bros kecil di bahu, memakainya lagi setelah memperbaiki beberapa bagian kerudung atas.

KAMU SEDANG MEMBACA
Dian
Teen FictionTAMAT. __________________ Purnama memisahkan. Tinggallah kaki menapak sendiri. Limbung di atas terjal Bumi mendingin. Kenali, tetapi jangan mengasihani. ---------------------------- (UPDATE SETIAP HARI RABU) ____________________________ #Kolaborasi7...