"Bukan harta yang bisa membuatmu diakui, tetapi wibawa karena harga diri."
***
Heri sedang mengabsen kehadiran siswa di kelas Multi Otomotif 1. Namun, belum genap menyentuh urutan keenam belas, jam di pergelangan tangan mendadak menerima sinyal bahaya.
Dengan cepat lelaki berkemeja hitam itu keluar dari kelas. Memasuki toilet guru, lalu memeriksa sinyal.
"Dian, ada apa?"
Genggamannya lebih erat, saat penunjuk waktu hasil modifikasi Dian menunjukkan kejanggalan tentang pembuatnya.
Sinyal lokasi baru saja akan muncul, tetapi tiba-tiba garis info pengiriman berhenti di tengah-tengah. Menghilang begitu saja.
Heri merogoh saku celana, mengeluarkan gawai–menghubungi rekan.
"Ridwan, kau di mana? Sesuatu terjadi pada Dian. Apa kau juga menerima sinyal merah di jam tanganmu?"
Lenggang sesaat. Heri menyimak baik jawaban Ridwan di ujung sana.
"Kau juga menerimanya? Sekarang apa?"
Mendadak hawa terasa menikam.
"Jenderal Hasan meminta rapat dadakan?"
"Baiklah, aku segera ke sana," tutup Heri.
Gerakan kilat ia Pasang. Menuju parkiran, menghidupkan si roda dua, dan meluncur menuju kediamannya.
**
Umar Hasan Bakri--lelaki berusia 47 tahun. Dia terlihat gusar. Beberapa kali lengan besarnya menggebrak meja.
"Dia sudah tahu pergerakan kita." Murka, jelas dua mata tua dikuasai amarah kelam.
"Apa karena itu ... Dian mereka bawa?" tanya Ridwan meragu.
"Sayangnya, ya." Pak Hasan mendadak terlihat lesu.
"Apa? Siapa yang membawa Dian?" Heri berjalan tergopoh-gopoh. Ia masuk ruangan tanpa mengucap salam.
"Heri ...." Sang teman berusaha menenangkan.
"Tolong katakan, apa yang sebenarnya terjadi!" teriak Heri tak sabar.
"Regar sudah tahu pergerakan kita. Dia ... menangkap Dian," terang Hasan.
Tokoh ibu seolah kehilangan pijakan. Dia beringsut di tempatnya mematung. Sedangkan Ridwan di sisi, masih memegang rekor lelaki tanpa ekspresi.
"Hei! Kau tidak bisa bersedih dalam situasi seperti ini. Dian mungkin baik-baik saja. Apa kau lupa siapa gurunya?"
"Mungkin?" Heri tersenyum getir. "Itu hanya kemungkinan? Bagaimana jika sesuatu terjadi padanya? Dia masih anak kecil. Usianya 17 tahun," sergahnya.
"Di usia 17 tahun, saya sudah menjadi tentara di perbatasan."
"Dia perempuan! Jangan samakan dia dengan Anda, Jenderal. Jelas sangat berbeda." Kali ini, Ridwan tidak sepemikiran.
"Jenderal, tolong kerahkan semua bawahan Anda untuk menemukan Dian," pinta Heri.
"Tidak bisa."
"KENAPA?"
"Kita tidak bisa mengambil resiko. Sesuatu bisa menjadi tambah parah jika kita bertindak gegabah."
"Apa Anda menunggu sesuatu dulu terjadi pada Dian, baru Anda akan bertindak lebih jauh?"
"Jenderal, dia murid Anda. Tidakkah ada rasa tanggung jawab barang sedikit?" Heri lagi-lagi hilang kendali.

KAMU SEDANG MEMBACA
Dian
Teen FictionTAMAT. __________________ Purnama memisahkan. Tinggallah kaki menapak sendiri. Limbung di atas terjal Bumi mendingin. Kenali, tetapi jangan mengasihani. ---------------------------- (UPDATE SETIAP HARI RABU) ____________________________ #Kolaborasi7...