17. Apa Katanya?

233 27 0
                                    

"Aku benci ketika aku merindukanmu. Karena saat itu, kamu tidak ada di sisiku."

***

Dari awan-awan yang menggantung, hujan berguguran. Dalam remang, jatuhnya seperti jarum-jarum kecil menghujam Bumi.

Gerimis gemericik menyentuh tanah lapang. Cipratan tercipta hingga teras ternoda. Beberapa menggenang, memantulkan langit malam.

"Untuk malam ini, kalian bisa istirahat dulu saja. Jika memungkinkan, nanti kita lanjut," terang Fajar, berdiri gagah di ambang pintu ruang eskul. Dinginnya malam tak terlihat mengganggu. Dengan santai, memasukkan tangan pada saku jaket dan berlalu.

"Yah, hari ini kita gak latihan ...," keluh Tari, memeluk lutut di sisi Dian. Mereka memutuskan memakai jaket, ikut bergerombol dengan yang lainnya. Berusaha menghalau dingin menghantam pori.

"Padahal ini hari pertama kamu latihan." Tari menilik teman di sisi, tak tampak terganggu. "Dian!" teriaknya tepat di telinga kanan gadis yang tengah termangu.

"Apaan, sih?" Dian mengelus telinga. Rasanya cukup sakit. Suara Tari benar-benar menghardik.

"Kamu kenapa diem aja?" Tari mencebik.

"Ya, terus aku harus apa? Dangdutan gituh? Oh, ayolah!"

"Kamu, ih!" Tari memukul bahu Dian.

"Sakit, Tari!" keluh Dian dengan raut meringis.

"Aku serius ...."

"Aku berius-rius."

"Ih!" Tari mencebik lagi. "Terserah, ah!" Akhirnya, dia menyerah juga.

"Gitu aja, marah. Sini-sini, lanjutin." Dian menarik bahu Tari. Membuat mereka saling berhadapan.

"Jadi, ada apa?" tanya Dian lembut.

"Kamu itu anggota baru dan 2 hari lagi kita akan lomba, tapi kamu belum sempat belajar apa-apa. Gimana kalau kamu gak bisa ikutan atau malah mengacaukan?" Tari meluapkan isi pikiran tentang Dian.

"Hanya itu?"

"Dian, ih! Kamu itu gimana, sih!" Tari kembali memukuli bahu teman. Gemas dan menyesal, sebab sudah mencemaskan gadis sesantai Dian.

"Tar, Tar, jangan ginilah." Dian tak berniat menghentikan amukan Utari. Toh, satu tahun dalam kondisi seperti ini pun, bisa dipastikan dirinya masih bisa makan ayam.

"Kamunya, sih! Diajak ngomong serius malah bercanda terus," gerutu Tari dengan otomatis menghentikan pukulan.

"Kamu gak perlu khawatir. Aku pasti bisa ikut lomba dan berdiri di dekat kamu. Kita panas-panasan, hujan-hujanan, lari-larian kayak film India," kelakar Dian berimbas pukulan cukup keras di kepala.

"Tari! Kamu sejak kapan jadi preman, hah?" Dian meringis. Mengusap kepala dan merutuk. Temannya benar-benar tega, memukul dengan cangkir plastik miliknya sendiri.

"Tau ah gelap!" Tari bangkit.

"Lah, mau ke mana?" Dian ingin ikut beranjak, tetapi Tari menahan dan memintanya tetap tinggal. Katanya, dia hanya ingin mengambil cemilan di ransel.

"Lapar," ujar gadis kurus itu dengan sederet gigi bersih kering. Dian ingin tertawa, tetapi tak berani. Hanya mengangguk, membiarkan Tari berlalu ke sudut ruangan. Berjibaku dengan ransel biru bermotif awan.

Melirik jam merah di tangan, Dian tersenyum.

Masih jam 8, katanya dalam hati.

Rencana, dalam 3 hari menginap, ia harus bisa menyelinap dan menambah informasi tentang tugas. Tidak boleh menyia-nyiakan kesempatan. Heri si cerewet sudah mewanti, Ridwan si muka datar sudah kembali ke habitat sifat semula, dan menjajikannya minuman cola untuk 1 minggu ke depan.

DianTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang