04. Masa Depan tanpa Kabar

393 47 17
                                    

"Begitu rencana telah tersusun, bukankah lebih menyenangkan bila ada sesuatu yang baru sebagai kejutan?"

***

Dalam balutan pagi, dua insan silih menyenggol. Dengan netra setia menatap awas pada pergerakan mobil digital dalam layar televisi.

"Ngapain, sih? Main, ya, main aja kali!" Rio bergeser, tak terima bahunya mendapatkan kekerasan dari si gadis usil.

"Lo tuh, kalau main biasa aja, enggak usah berlebihan," timpal Dian merasa tak terima juga. Pasalnya, sudah tujuh belas kali ia diolok Rio. Karena kalah terus saat berperang dalam permainan berbagai jenis gim.

"Berlebihan apanya? Gue main biasa aja. Lonya aja yang nggak becus maen."

Oh, panggilan manis di antara mereka telah lenyap, setelah tawa di atas pohon jambu kemarin sore. Pertempuran lisan dan saling jambak, muncul di saat kedua bocah usil silih membanggakan diri.

"Jadi cowok, kok, gak ada ngalah-ngalahnya?" sindir Dian.

"Kenapa? Lo mau kita maen sinetron?" Rio tertawa. Tak ia gubris gerutuan lawan bicara menyumpahinya.

"Lagian lo, sih, ngajak maen gim yang belum pernah gue mainin," sergah Dian, mencoba menjaga harga diri.

"Lah, lo yang udik. Katanya gamers, tapi gak ngikutin kemajuan zaman."

"Mau lo apa, sih?" Dian menghentikan perlawanan balapan mobilnya di layar televisi.

"Apa?" tantang Rio menatap ulang manik memerah milik lawan bicara.

"Lo ada masalah sama gue?"

"Ada, banyak malah." Rio ikut meletakkan pengendali mobil digital. Memposisikan diri menatap Dian nyalang.

"Apa?" tantang Dian.

Dua makhluk Bumi saling melempar tatapan tajam. Jika dua pasang manik itu memiliki sinar penghancur, bisa dipastikan Bumi telah terbelah sejak detik lalu.

Hawa di ruangan berukuran 10 x 7 m itu pun terasa ikut memberi kesan drama. Tak ketinggalan suara dasar dari video gim bertindak menjadi nada tambahan bagi deru napas yang berpacu kasar. Serta, jika para anime pemain gim itu benar-benar hidup, mungkin saat ini mereka tengah menjadi penonton aksi dua pasang manik tak berkedip.

"Tidak tahu," ucap Rio pada akhirnya. Mengembalikan tubuh menghadap layar, kembali berselancar dalam dunia digital.

"Bilang aja mau ngedip."

"Emang," sahut Rio cepat.

Dian bersorak merendahkan, "Gitu aja kalah."

"Itu namanya mengalah bukan kalah."

"Pake ngeles lagi, kayak marmut."

"Bajai woi bajai!" teriak Rio meralat ucapan Dian.

"Ya, suka-suka gue lah." Dian menjulurkan lidah.

"Terserah," ketus Rio kalah soal. Hal sederhana penghadir senyum kemenangan tercetak apik di bibir Dian.

"Gue mau cola," kata Dian dengan mengerlingkan mata.

"Terus?"

"Ya, lo kasihlah."

Dian bersandar pada sofa di belakangnya. Seharusnya mereka duduk di sana, tetapi baik Dian maupun Rio, lebih suka duduk di karpet jika sedang bermain gim.

"Sejak kapan ada pengaturan kayak gitu?" Rio masih belum berniat memenuhi keinginan Dian, fokus utamanya masih berada pada mobil balap berwarna merah dalam layar.

DianTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang