10. Dari Sudut Lain

257 26 8
                                    

"Aku (tidak) baik-baik saja."

***

Malam semakin pekat, menampilkan purnama di pucuk langit. Angin menyusup halus. Mengantarkan para insan untuk terlelap. Di bawah tanah Sekolah Menengah Kejuruan, enam pria berlutut pasrah. Tubuhnya bergetar dengan ujung rambut meneteskan air dingin.

"Apa yang sebenarnya terjadi?" Regar terduduk agung di sebuah kursi tunggal. Mata elangnya tak bosan menilik tempat persembunyian yang kacau balau.

"BOS BERTANYA, APA KALIAN TIDAK MENDENGAR?" Ajudan lain menendang target pertanyaan tuan. Berlanjut menjambak dan meludahi wajah terdakwa satu per satu.

"Ma-maaf, Bos, kami benar-benar tidak ingat," ucap serak seorang pria dengan topi hitam. Sungguh, di antara mereka tidak ada yang bisa mengingat kejadian 5 jam lalu. Saat terbangun dari tidur yang terasa lebih nyaman, tempat yang mereka jaga sudah kacau berantakan.

"Omong kosong!" Ajudan dengan jas hitam memecut si penjawab. Menimbulkan teriakan sakit, menggema menggetarkan dinding tanah. Pecutan pada tubuh basah kuyup mengundang pilu lebih mendalam. Dan memang itu tujuan para pendekar kegelapan.

"Cukup." Regar bangkit. Ia merogoh saku dan mengeluarkan sebatang rokok. "Urus mereka," lanjutnya sembari melangkah menjauh.

Ujung tembakau ia bakar lalu dihisapnya dalam-dalam. Menikmati raungan 6 lelaki berkaus tanpa lengan: memohon ampun.

Malang, mereka harus berakhir dengan cara menyedihkan. Dilempar hidup-hidup ke kandang 15 anjing pemburu kelaparan. Sebuah bayaran mahal untuk kesalahan yang masih bisa dipahami logika.

Jeritan sakit, teriakan putus asa menggema memenuhi lorong bawah tanah. Bau amis mulai menjalar. Menyengat dan sangat mengganggu pernapasan. Namun, para penghuni tempat persembunyian barang curian itu seolah sudah terbiasa. Mereka menikmati kejadian sadis yang menimpa 6 rekan.

"Parid, pasang cctv sekarang juga!" titah Regar, sembari memandangi tumpukan daging manusia habis terkoyak.

"Baik, Bos," sahut bawahan langsung berlalu, memenuhi tugas atasan.

Regar mencengkeram kuat pagar pembatas jurang tempat koleksi hewannya menyantap makan. Dia menyudahi acara menikmati kepulan asap dengan melempar batang tembakau asal.

"Siapa dia?" Regar memukul pagar lalu menendang ajudan lain di sisinya. Hingga laki-laki berjas hitam itu pun ikut jadi santapan 15 anjing pemburu.

"BERANI SEKALI!" raungnya murka. Matanya merah dan deru napasnya memburu. Menandakan bahwa sang tuan tengah naik pitam.

"KALIAN!" Regar menunjuk 3 bawahan lain yang memandangnya takut. "Bawakan aku penyusup sialan itu!" titahnya mutlak.

"Jika tidak--" Regar tersenyum setan. "Kalian yang akan menjadi koleksi replika tulang manusia di ruanganku."

**

Menyingsing, mentari terbit dengan ceria. Embun mengering dan udara menghangat.

"Jika ada yang berani mengganggu Achi--" Dian menggebrak meja dengan gagang sapu yang hancur seketika. "Kalian yang akan menjadi pengganti sapu ini di tanganku."

Dian meninggalkan kelas 10 TKJ 3 dengan tersenyum apik. Ia menyodorkan beberapa rupiah pada seorang wanita berkacamata. Dikenalkan yang lain sebagai bendahara kelas.

"Untuk mengganti sapu itu," katanya setengah mengancam.

Di lorong menuju kelas otomotif, Dian bersiul. Dia sungguh menikmati paginya kali ini. Ridwan dan Heri tiba-tiba dipanggil Sensei Hasan. Hal itu membuatnya merasa bebas berkarya di dapur bersama sahabat barunya: Rasyi.

DianTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang