"Jangan bersembunyi. Tunjukkan dirimu. Agar aku bisa mengagumimu sesuka hati."
***
"Kita mendapatkannya," seru Pak Hasan. Lelaki tua itu memasukkan kembali gawai ke saku. Mengajak tim segera meluncur menuju TKP.
Ternyata: Cilengkrang. Penunjuk lokasi berhenti tepat di depan bangunan lapuk. Rumput liar memutari, dedaunan menjuntai menghalangi jendela.
"Jenderal, di sebelah sana," tunjuk anggota bertopi hitam. Dia ahli dalam mencari titik lokasi kejadian.
"Ledakan!"
Lima anggota lain langsung membuat formasi. Mengarahkan mesiu pada dinding berlumut.
"1 ..., 2 ..., dan tembak!" Ledakan berhasil memberi peluang masuk lebih cepat.
"Tim penyerang, ambil posisi di depan." Ridwan memberi arahan. Dia bergerak di depan diiringi 5 rekan.
"Tidak ada tanda-tanda Dian di sini. Heri, regumu bertugas untuk itu," ucap Ridwan pada alat komunikasi di kerah baju.
"Dimengerti." Heri menerima perintah. Mengajak 2 orang menelusuri sudut bangunan di sisi lain.
Setelah kepergian tim pencari, Ridwan memimpin baku tembak. Namun, sebelum itu, ia menarik dua pemuda bersenjata api. Salah satu di antara keduanya, mirip sekali dengan Heri–cerewet.
"Jangan lindungi kami. Lakukan saja tugas kalian. Mengerti?" Sejak tadi si cerewet terus saja berkoar. Beberapa kali berniat pergi, tetapi Ridwan berhasil menghadang.
Siapa lagi kalau bukan Surya? Si cerewet versi 2.
Di sisinya, Fajar tampak tenang. Dia justru mulai mengembangkan pemikiran. Berusaha mempelajari situasi dan mencari peluang menguntungkan.
Dengan setengah berbisik, lelaki berbaju hitam itu bertanya pada rekan, "Bagaimana status orang-orang kita?"
"Gue gak bisa jamin. Koneksinya hilang," jawab Surya pelan.
Fajar masih terlihat tenang. Instingnya bermain. Untuk saat ini, dia harus bisa memastikan dulu kondisi gadis itu.
Kening berkerut, Fajar berusaha menemukan petunjuk dari ingatan terakhirnya dengan Dian. Namun, sia-sia. Tidak ada sesuatu yang bisa dia ambil sebagai informasi dari reka adegan dalam memori.
Di tengah baku tembak, Regar muncul. Tampak jelas bahwa dia terluka parah. Di belakangnya, lima pengawal mengikuti.
"Wah, wah, wah, apa aku kedatangan tamu lagi?" Regar tersenyum apik. Baku tembak mendadak terhenti. "Kapan terakhir kali tamuku keluar hidup-hidup?" Manik kelam menjurus satu pada lelaki tua berseragam dinas polisi.
"Di mana Dian?" Hasan mempersiapkan senjata api.
"Jangan mengancamku," Regar mencemooh, "mari kita berbincang dulu sebentar, Jenderal Perwira Hasan. Sebelum tim Anda kehilangan kesempatan berbicara untuk selama-lamanya."
"Kau tidak bertindak sendiri. Siapa yang membantumu? Apa ayahmu?" Sang jenderal mengarahkan moncong pistol menuju tepat pada titik jantung lawan.
Sontak 5 pengawal Regar turut memasang senjata.
"Jangan main-main dengan saya, Regar!" Hasan melotot. "Menyerahlah!"
Lawan tersenyum. Dia lalu berpidato, "Wahai pengikutku, ketahuilah, jikapun kalian menyerah, aku bisa menjamin pada akhirnya kalian akan mendekap selamanya di penjara. Maka dari itu, selamatkan diri kalian dan bertarunglah bersamaku."

KAMU SEDANG MEMBACA
Dian
Fiksi RemajaTAMAT. __________________ Purnama memisahkan. Tinggallah kaki menapak sendiri. Limbung di atas terjal Bumi mendingin. Kenali, tetapi jangan mengasihani. ---------------------------- (UPDATE SETIAP HARI RABU) ____________________________ #Kolaborasi7...