"Aku tidak salah, egolah yang menjamah."
***
Remang berkabut di langit. Hanya satu dua awan yang menjingga. Lainnya, menghitam. Bergerumul dan semakin kelam.
Petang ini, Regar dipanggil atasan. Dimarahi karena tugas kemarin hampir kebobolan. Dan karena itu, saat ini lelaki berkaus tanpa lengan itu tengah mengamuk di arena latihan bela dirinya. Melampiaskan segala kekesalan pada beberapa anak buah yang ia paksa melawan.
"Umar Hasan Bakri! Dia bermain-main denganku," sinisnya dengan peluh bercucuran dari rambut juga ujung hidung. Di pipi kiri, tampak jelas empat garis merah karena tamparan. Bibirnya robek. Bukan karena anak buah, tetapi atasan.
"Bos, tempat kita mulai dicurigai. Di pabrik, Tuan Wijaya menempatkan beberapa ajudan kepercayaannya." Parid melapor.
Regar mendengkus. Melampiaskan amarah pada ring di tepi arena. Memukul, menendang, dan mengoyak. Dia meraung. Lalu memerintah Parid untuk masuk arena dan bertarung.
"Kalahkan saya atau kau akan kehilangan nyawa," ucapnya sebelum melancarkan serangan.
Lima menit, mereka bertarung cukup hebat. Regar buas dan Parid tidak terlihat ragu-ragu saat melawan. Hingga di menit berikutnya, pimpinan pencurian barang itu kalah telak. Dia tak berdaya di bawah kungkungan anak buah.
"Maaf, Bos." Parid segera bangkit, menunduk. Sedangkan Regar meregangkan leher. Lalu tanpa aba-aba, dia menarik leher Parid dengan sikut, mematahkannya dalam satu usaha.
Malang, korbannya kali ini bahkan mati tanpa suara.
"Kau—" Regar menunjuk anak buah lain di luar ring arena. "Urus dia," perintahnya sembari berlalu.
Menurut, tiga laki-laki berjas hitam bergegas mengurus jasad Parid. Sedangkan pimpinan mereka, memilih membersihkan diri di kamar atas.
Dalam hujanan air shower, Regar memejamkan mata. Masih tak terima pada kekacauan yang menimpanya kemarin.
Niat ingin kembali bertransaksi dan mencuri, justru mengalami kegagalan dengan ledakan hebat di pabrik produksi. Mobil hitamnya hancur berkeping-keping. Nyaris tak tersisa.
Regar bersumpah, akan mencincang hidup-hidup dalang dari kekacauan kemarin. Siapa pun itu, tidak akan Regar biarkan bernapas lega. Orang itu harus mati di tangannya.
Menyelesaikan ritual mandi, Regar melilitkan handuk di pinggang. Keluar kamar dan memakai pakaian tidur. Merebahkan diri di atas ranjang berusaha terlelap untuk tugas di hari esok.
**
Paginya, dengan setelan kemeja biru juga celana bahan, lelaki itu bergegas pergi dari kediaman. Menghidupkan motor besar dan berlayar menuju Sekolah Menengah Kejuruan di desa Sakawayana.
Tepat saat dia mendaratkan kaki di SMK, Regar melihat anaknya tengah berdiri dengan mata menjurus pada siswi berkerudung lebar. Dian Firdaus--murid baru di kelas MO 2--sekaligus kekasih dari Surya.
"Jangan menyukainya," ucap Regar pada putranya.
"Apa hakmu melarangku?"
"Aku ayahmu."
"Ayah?" ulang Fajar setengah menertawakan. "Sejak Ibu meninggal, kau sudah kehilangan semua hakmu atas diriku. Kau bukan ayahku, hanya monster haus harta. Menjijikkan."
"Fajar!"
Beberapa penghuni sekolah berlalu lalang di parkiran, mereka mulai menjadikan ayah dan anak itu pusat perhatian. Teriakan Regar barusan, mengundang rasa penasaran, pada mereka yang tak sengaja menjadi saksi hidup ketidakharmonisan keluarga Pak Kepsek SMKN Garut.
KAMU SEDANG MEMBACA
Dian
Teen FictionTAMAT. __________________ Purnama memisahkan. Tinggallah kaki menapak sendiri. Limbung di atas terjal Bumi mendingin. Kenali, tetapi jangan mengasihani. ---------------------------- (UPDATE SETIAP HARI RABU) ____________________________ #Kolaborasi7...