"Bagaimana bisa aku tidak jatuh cinta padamu, sedangkan kamu adalah alasan hati ini merindu."
***
Siang telah terpatri. Namun, mentari seolah enggan menampakkan diri. Ia begitu nyaman bersembunyi di balik mendungnya awan.
"Ah, kenapa harus hujan, sih?" keluh gadis SMA dengan baju produktif biru. Dia baru saja selesai mengerjakan ulangan sekolah pertama kalinya seumur hidup. Dan kini, hujan menjadi penghenti bagi keinginan hati yang ingin segera menyelami alam mimpi.
"Hujan itu rahmat Tuhan." Seseorang menyahut di sisi.
"Ngapain di sini?" tanya Dian pada laki-laki yang juga ikut berteduh di bawah naungan pos ronda.
"Menikmati hujan," katanya dengan mengulurkan lengan. Menyentuh butiran-butiran dingin yang jatuh bersahutan.
"Namaku Fajar," tambahnya tanpa tersenyum.
"Udah tahu!" Dian memutar matanya, malas.
"Kenapa? Karena nama akhir kita sama?" selidik lelaki itu dengan mengeratkan jaket biru tua.
Dian tak menjawab. Ia memutuskan untuk duduk di bangku papan. Menilik sepatu pantofel dan mengembuskan napas kasar.
Achi benar-benar menghindariku, keluh Dian dalam hati.
Di sekolah ia telah mencoba meraih kembali persahabatan yang baru tumbuh sebiji jagung. Namun, pihak lain menolaknya mentah-mentah. Rasyi bahkan sengaja tak masuk sekolah demi menghindarinya. Itu yang dikatakan para hello marmut itu.
Dian ingat, Tari: makhluk yang hampir menyerupai dirinya mengabarkan, bahwa Rasyi memang penuh misteri. Desas-desus mengatakan, bahwa gadis dengan 3 lesung pipi itu merupakan anak dari wanita simpanan kepala sekolah SMKN Garut.
Masyarakat memandangnya rendah. Sebab, ibu dari Achi tidak jelas asal-usulnya, dan terkenal sebagai seorang pemulung. Bahkan, saat ibu Rasyi meninggal, hanya satu dua orang yang berkenan mengurus pemakamannya. Itu pun karena mendapat uang bayaran.
"Kenapa?" tanya Fajar tanpa mendekat.
"Bukan urusan lo!" cibir Dian.
"Kamu itu wanita yang berjilbab. Apalagi kerudungmu lebar. Apa menurutmu berbicara kasar seperti itu pantas dilakukan oleh seorang muslimah?"
Skakmat. Dian tambah tak menyukai pemuda dengan kulit sawo matang itu.
"Berisik!" Dian bangkit. Dia tembus rintik-rintik hujan yang deras membasahi tubuh. Mengabaikan teriakan Fajar yang mengingatkannya tentang baju seragam.
"Bodo amat!" ucap Dian setengah bergumam.
Sejak dulu dia paling tidak suka digurui seseorang. Dian akan merasa sedang direndahkan jika ada yang menasehati. Bukan tanpa sebab, dulu ibu panti--si monster kurang pelajaran--akan sangat suka menginjak-nginjak harga dirinya, dengan cara memarahi Dian habis-habisan.
"Dia pikir dia udah sempurna apa? Sok banget, sih!" Entah mengapa, segelintir air mata menguap begitu saja.
"Kak Tania ...," lirih Dian mulai terisak. Ia menengadah membiarkan tetes hujan mencumbu wajah.
"Aku ini emang bodoh! Aku bahkan gak bisa jadi teman yang baik untuk Achi." Parau. Dian meluapkan emosinya. Mendadak perih terasa lebih dalam menjalar hati.
"Hujan adalah salah satu waktu yang Allah jamin setiap doa akan terkabul." Kembali. Suara yang ia benci terasa dekat dan memayungi.
"Ngapain, sih, lo? Pergi sana!" Dian mendorong tubuh tegap yang mendekat.

KAMU SEDANG MEMBACA
Dian
Teen FictionTAMAT. __________________ Purnama memisahkan. Tinggallah kaki menapak sendiri. Limbung di atas terjal Bumi mendingin. Kenali, tetapi jangan mengasihani. ---------------------------- (UPDATE SETIAP HARI RABU) ____________________________ #Kolaborasi7...