"Bukan cinta jika merusak."
***
Pukul 02.02 dini hari.
Dian berada dalam satu ruangan dengan dua pengasuh juga sensei-nya. Membahas sisa-sisa diskusi di 4 jam lalu.
Tak ada yang diam. Semua bekerja. Berawal dengan teori dan berlanjut pada pembagian tugas sementara.
Dian tengah berkecimpung bersama beragam alat teknologi mungil,mencoba menyusunnya; Heri dan Ridwan ditugaskan merangkai rencana misi; sedangkan Sensei Hasan, sibuk memilah jenis senjata yang akan dipergunakan.
"Tidak boleh ada yang tidur sebelum tugasnya selesai."
Itu adalah pesan Sensei sebelum bungkam selama 3 jam–berjibaku dengan beragam senjata. Sesekali ia amati lalu meminta Dian mengubah beberapa hal.
Ah, mataku terasa lengket.
Satu-satunya gadis di ruang berukuran 7 x 10 meter, mengucek mata kiri. Sudah lama sekali dia tidak bergadang. Dipandanginya jam yang melekat di dinding, Dian menemukan bahwa hari sebentar lagi sudah akan hidup.
"Kenapa?" tanya Heri, tangan kanannya memegang gelas keramik berisi kopi hitam. Dian menebak, itu adalah kopi ke sembilan.
"Hari ini ... aku tidak perlu sekolah, 'kan?"
"Perlu. Hari ini, jadwal Regar mengajar. Dia akan membawa barang-barang prakteknya sendiri. Dan kamu harus ada di sana untuk menggali informasi."
Musnah sudah rencananya untuk berleha-leha di tempat tidur.
Dian merenggut dan itu lucu. Mata pandanya ikut menekuk. Jelas sekali dia rindu ranjang abu-abunya.
Azan berkumandang. Sensei Hasan menutup segala aktivitas–bubar.
Di tangga menuju lantai atas, dua netra sudah sangat terasa berat. Kakinya Dian seret dengan tangan lemas memegang batas tangga.
Aku ngantuk ....
Dian menjatuhkan diri ke atas ranjang abu. Dia tertidur beberapa detik sebelum tokoh ibu nan cerewet datang mengganggu. Menyuruh gadis itu salat Subuh dan bersiap menuju sekolah.
**
"Lo ngantuk?"
Dian tidak menjawab. Ia memangku dagu dengan dua mata tertutup rapat. Di sisi, Surya seperti Heri, sangat suka mengganggu. Betapa Dian ingin sekali melenyapkan kedua makhluk tengik itu.
"Lo tidur aja di UKS," saran Ajis.
"Iya, tar kita yang izinin lo sama Bu Indah," timpal Iqbal.
Gadis yang sudah terantuk-antuk sejak duduk di bangkunya, memaksa manik terbuka lebar, tetapi gagal. Pada akhirnya, dia memutuskan merebahkan kepala di atas meja.
"Gue ngantuk, pengen tidur, males jalan," gumam Dian–sangat pelan. Namun, cukup jelas untuk didengar 4 lelaki yang mengerumuninya.
Hingga, tak disangka, Surya nekat. Dia berani membopong Dian.
"Surya! Lo udah gak waras, ya!"
"Oi, kalau dia ngamuk gimana?"
"Emang edan tuh anak."
Namun, si playboy tak juga menghirauhkan teriakan teman. Dia dengan gayanya--sok cool, membawa Dian ke ruang UKS. Merebahkannya di atas brankar hitam, dan memandangi gadis itu tanpa berkedip.
"Lo harusnya diem di rumah. Gak usah ke sini. Ngerepotin!"
Anehnya, si pembicara tidak terlihat terganggu. Surya justru tersenyum. Dia meraih lengan Dian dan menautkan dengan jemarinya.

KAMU SEDANG MEMBACA
Dian
Teen FictionTAMAT. __________________ Purnama memisahkan. Tinggallah kaki menapak sendiri. Limbung di atas terjal Bumi mendingin. Kenali, tetapi jangan mengasihani. ---------------------------- (UPDATE SETIAP HARI RABU) ____________________________ #Kolaborasi7...