"Pernah jenuh? Bosan? Atau sekadar ingin menghilang? Itulah aku saat ini. Bisakah kamu mengerti?"
***
Pagi-pagi sekali, rumah di kawasan perum itu sudah ramai.
"Dian! Kamu harus sekolah. Tugas kamu belum selesai. Jenderal Hasan akan ke sini nanti siang. Kamu tahu sendiri, 'kan, apa yang akan terjadi jika kamu begini?"
Tentu saja. Dian tahu persis. Senseinya itu sangat perfeksionis. Apa jadinya jika amanat tugas malah terbengkalai dengan Dian yang masih bergelung bersama selimut tebal?
Namun, gadis yang sejak semalam sudah memutuskan ingin berhenti itu, bergeming. Selimut biru masih tetap ia pertahankan menutupi badan. Sejak subuh, sudah begitu.
Heri kembali meneriaki namanya, menggoyangkan kaki Dian, dan berusaha menarik si kain tebal.
"Ayo! Siap-siap! Kamu masih harus sekolah."
"Aku tidak mau!"
Heri berdecak kesal, sang tokoh ibu rumah tangga menyerah. Heri duduk di tepi ranjang abu-abu. Memandangi Dian dengan berpikir keras.
"Sebenarnya apa yang terjadi?" Dia mulai mencari tahu.
"Tinggalkan aku sendiri, aku mohon," cicit Dian di bawah selimut.
Namun, dari ambang pintu, Ridwan menghardik, "Jangan bertingkah kekanak-kanakan. Ayo kerja! Bayaran kita sudah ada. Kamu tidak mau, 'kan, makan gajih buta?"
Dian menyingkap selimut, terduduk, lalu berujar, "Usiaku masih 17 tahun. Bolehkah aku bertindak selayaknya remaja di usia itu? Tolong katakan pada Sensei Hasan, aku berhenti. Terserah dan bodo amat."
Heri diam; Ridwan berlalu.
"Aku mohon, aku ingin berhenti."
Heri tidak begitu menanggapi. Ia memandangi Dian sesaat lalu ikut berlalu. Hilang di ambang pintu.
Tingallah Dian sendiri.
Gadis itu menjatuhkan lagi diri di ranjangnya. Berusaha tidur dan tak berniat ingin beranjak. Sedangkan di sekolah sana, Surya dilema.
"Lo beneran naksir Dian?"
Sebagai jawaban, Surya bergumam dan melirik Ajis sesaat.
"Mending jangan. Bisa mati makan hati lo! Mau?"
Lelaki berseragam SMA itu lekas memandangi kursi di sisinya. Tempat Dian dulu ia goda. Si gadis galak yang cuek dan penuh misteri.
Surya dilema dan Dian alasannya.
Sungguh, ini adalah kali pertama manusia playboy itu galau karena wanita. Dia sudah menyatakan perasaan, tetapi tak bisa memastikan hasil akhir pernyataan cintanya.
Malam itu, setelah ajakan berkencan, Dian memandanginya datar, menggeleng, dan berlalu begitu saja. Bahkan angin masih setia menemani, sedangkan gadis incarannya berkhianat pergi.
Surya merebahkan kepala di atas meja. Memandangi terus singgasana tempat Dian berkecimpung dengan buku. Surya sungguh rindu saat-saat itu.
"Surya! Pacar lo nyariin tuh," seru Ajis mengingatkan, tetapi yang diingatkan malah memejamkan mata, pura-pura terlelap.
"Eh, Sela, makin cantik aja," puji Iqbal berusaha menghindari amukan si centil XI TKJ 3.
Gadis dengan lipstik merah darah itu tak menghiraukan Iqbal. Dia bergegas menghampiri Surya dan duduk di kursi Dian. Sela cantik. Seorang aktris sinetron remaja yang sedang naik daun.
KAMU SEDANG MEMBACA
Dian
Teen FictionTAMAT. __________________ Purnama memisahkan. Tinggallah kaki menapak sendiri. Limbung di atas terjal Bumi mendingin. Kenali, tetapi jangan mengasihani. ---------------------------- (UPDATE SETIAP HARI RABU) ____________________________ #Kolaborasi7...