29. Luluh Runtuh

223 28 31
                                    

"Keajaiban muncul dalam sesak jiwa mendekap."

***

Awan-awan menghitam. Runtuh, terpecah menjadi butiran permata bening. Bersahutan menghujam tanah Bumi. Betapa petir telah sangat berperan menelan gemuruh pertempuran di dalam bangunan tua.

Dian Firdaus adalah sosok egois. Dia cenderung cuek pada sekitar jika dirasa tidak ada keperluan. Namun, dua kelompok dalam bangunan tengah bertempur untuk menyelamatkannya. Sungguh, apa pentingnya gadis itu?

Tidak pernah berniat menjaga perasaan orang, membalas kasih sayang, atau sekadar menerima uluran pertemanan. Dian kaku di bidang itu. Hingga memutuskan tidak peduli dan berhenti berusaha.

Betapa bodoh para pahlawan sang gadis. Mereka bertempur untuk sosok tak tahu malu. Menjerumuskan diri ke dalam pahatan perih, demi manusia berkepribadian robot.

Heri dan Ridwan memimpin dari sisi kiri dan tengah. Sedangkan Surya dan Fajar bertempur di garis depan dan kanan. Beberapa mereka posisikan di belakang sebagai cadangan pertahanan.

Sesekali tembakan terdengar melangit lalu membunuh. Hingga kelam di malam kelabu berkabung lagi dan lagi.

Tunggalang tidak ikut andil dalam peperangan. Lelaki tua itu hanya duduk –menyaksikan dengan gulungan tembakau di jemari kanan. Ia hisap lebih sering, menikmati panorama tumpah darah di atas pualam.

Di atas pertempuran, seorang gadis tengah berkecimpung sendirian. Dia memainkan benda bulat berwarna merah muda–sebuah bedak – tetapi mampu mengeluarkan efek teknologi.

Dian Firdaus, ia sempat melarikan diri. Memutuskan bersembunyi di atap. Lalu beraksi dengan menghidupkan alat komunikasi dalam benda bulat. Dian menghubungi teman maya. Dia perlu seseorang sebagai rekan berbincang.

Setelah berdebat beberapa kali, gadis dengan luka parah di lutut itu memutuskan setuju pada usulan Enemy. Mereka menghubungkan alat komunikasi dengan cctv dalam bangunan. Membuat arena game, itu rencananya.

Dian berusaha masuk pada setiap benda teknologi musuh. Dia perlu mendaftarkan mereka sebagai pemain.

"Aish! Apa mereka tidak bisa fokus berperang saja? Aku baik-baik saja di sini. Kenapa harus khawatir?" gerutu Dian setelah mendengar lagi pertanyaan seseorang di bawah sana, tentang dirinya.

"Aku ini ahli dalam melarikan diri."

"Jangan banyak drama! Bertempurlah dengan baik."

"Ck! Apa aku harus mendadak turun dari sini?"

Berbicara tentang atap, Dian ingat, sebelumnya ada Surya yang tiba-tiba muncul lalu terjun. Juga beberapa orang berkaus tanpa lengan, datang dan mengikuti jejak lelaki haus perhatian itu. Terlebih, samar-samar Dian merasa melihat si manusia jadi-jadian.

"Untuk apa mereka ke sini? Berburu anggota eskul? Oh, yang benar saja!"

Sebuah gambar amplop kecil masuk ke layar. Pengendali benda teknologi membuka pesan. Enemy pengirimnya. Meminta Dian menerima panggilan teleponnya.

"Apa dia sudah gila? Kalau ketahuan gimana?" Suara Dian semakin pelan.

Namun, gadis dengan bercak darah mengering itu diingatkan rekan, bahwa ada headseat yang bisa dimanfaatkan.

Kok gue ngerasa mendadak bodoh, ya?

Dian memasang headseat, menerima sambungan telepon.

"Dian?" Suara di sebrang terasa familiar.

"Ya? Ba-bagaimana bisa?"

"Apa?"

"Aku belum pernah memberitahu namaku."

DianTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang