"Jangan pergi! Tetaplah bersamaku, di sini."
***
"Oohh, Tuan Putri sudah kembali...." Regar mencemooh.
"Ya. Apa kau merindukan pukulanku?" Lawan bicara tertawa. Namun, Dian bisa melihat, lelaki itu cukup gelagapan pada senapan besar dalam kendalinya.
Gadis berkerudung putih mendecih, "Tidak perlu berakting. Kau tidak ada bakat di bidang itu." Dian melihat sekitar. Pertempuran mendadak terhenti akibat kemunculannya.
"Aku bukan hantu. Jangan lihat aku seperti itu," tuturnya pada setiap pemilik pasang mata yang menyoroti kentara.
Dian merobek jahitan di sisi rok. Berniat memperluas gerakan dengan tanpa melupakan hukum menutup aurat. Kak Aina selalu memintanya membiasakan diri tetap menggunakan celana panjang berbahan ringan saat menggunakan rok.
"Aku yang memimpin," ucapnya seraya maju menembaki lagi satu per satu lawan. Dian terus membelah udara walau peluru berterbangan di setiap sisi.
Di belakang, Heri meneriaki, tetapi gadis itu telah memutuskan untuk menjadi tuli. Hingga, langkahnya terhenti tepat di hadapan Tunggalang.
"Halo, Pak Kepsek." Dian tersenyum dengan moncong senjata berarah pada lawan bicara. "Perkenalkan, saya murid di sekolah Anda. Senang bertemu dengan Anda. Bagaimana jika Anda menyerah dari sekarang? Itu akan sangat membantu dan saya akan sangat berterima kasih."
"Tidak sampai kau lihat itu," tunjuk Tunggalang pada pintu di ruangan.
Dian mengikuti arah tunjuk dan didapatinya sebuah benda panjang dengan banyak kabel kecil silih bertautan. Tumpang tindih di antara celah lampu mungil yang berkedip merah.
Bom? Si tua ini benar-benar ....
Dian mengeram. Ia marah dan putus asa. Harus apa sekarang? Diliriknya orang-orangnya yang sama kelelahan.
Tenang... aku tidak akan menyerah.
Lalu, diperhatikannya lagi dengan seksama si benda durjana di sisi kanan. Waktu tersisa dalam benda peledak hanya tinggal 10 menit.
Berpikir Dian! Berpikir!
Satu-satunya gadis di antara sisa-sisa puing pertempuran, mengedarkan pandangan. Merekam satu per satu wajah rekan. Ridwan mengepalkan tangan, Heri menatap memohon agar anak asuh tidak bertindak jauh, serta dua pemuda dengan peluh berdebu.
Dian tersenyum. Seolah berkata, jangan khawatir. Percayakan saja padaku.
Ia mengembalikan fokus pada musuh tua di antara Sensei Hasan dan Pak Regar.
"Apa Anda berniat mati saat ini, Pak Tua?"
Si tua tidak berniat menimpali.
"Jika ingin meledakkan tempat ini, silakan saja. Toh, saya tidak akan mati sendiri." Dian memang gadis cerdik dan logis.
"Ah, dan satu lagi." Dian berputar, memandangi bawahan Regar, tampak sama kelelahan. "Saya rasa, anak buah Anda masih ingin hidup. Menurut Anda, apa yang akan mereka lakukan untuk membuat Anda mematikan bom?"
Tepat sasaran. Dian memang terlamapau cerdik. Sekarang, sisa lelaki berjas hitam mempersiapkan senjata api mereka. Dan siapa pun bisa tahu, apa niat mereka.
"Tolong matikan bomnya, Tuan!" seru mereka bersahutan, seraya pistol diarahkan.
"O-ow ...." Dian mencemooh. Ia menutup mulut. Memasang ekspresi tak percaya sedemikian menghina.
"Diam!" teriak Regar. "Jika kalian seperti ini, apa yang bisa kalian dapat? Kematian yang lebih cepat?" Lelaki itu mulai menunjukkan taringnya dalam berceramah.

KAMU SEDANG MEMBACA
Dian
Teen FictionTAMAT. __________________ Purnama memisahkan. Tinggallah kaki menapak sendiri. Limbung di atas terjal Bumi mendingin. Kenali, tetapi jangan mengasihani. ---------------------------- (UPDATE SETIAP HARI RABU) ____________________________ #Kolaborasi7...