03. Mega untuk Kita

445 50 5
                                    

"Pertama kalinya, genggaman asing terasa menjaga dalam tawa yang mendewa."

***

"Dian," panggil Heri. Namun penerima panggilan, hanya menanggapi dengan gerakan mata saja.

"Usiamu masih sepuluh tahun, 'kan?" Heri menatap Dian serius. Semenjak seminggu lalu, entah bagaimana ceritanya, lelaki berkulit bersih itu mendadak mendapat tugas menjaga bocah tengil. Si pemalas dengan hobi baru, bermain gim.

"Lalu?" Dian tidak tampak terganggu. Fokusnya masih sempurna tertuju pada perkelahian dua karakter animasi di layar komputer.

Meski jelas retakan menghalangi sebagian gambar, tetapi Dian tidak juga menyerah. Gadis itu telah hampir melengkapi misi akhir. Permainan gim memang mimpinya selama ini.

"Apa kamu tidak berniat untuk sekolah?" Heri memandangi komputer rusak lebih lekat. Sudah hampir lima tahun lamanya benda ajaib itu terabaikan di gudang Pak Hasan. Namun Dian dan keajibannya, telah memberi kehidupan nelangsa pada sang komputer.

Bagaimana tidak, apa ada yang bisa bertahan hidup dengan kondisi organ luar retak sempurna?

Heri bertepuk tangan dalam hati. Si tergila memang kejam durjana.

"Tidak!" Dian memberi sedikit tekanan di ujung kata.

"Kenapa?" tanya Ridwan, pemuda tampan bernasib sama seperti Heri.

"Males mikir."

Baik, Ridwan dan Heri kehabisan soal. Membiarkan detak jam dinding bergelayut melelap waktu. Bukan perkara menyenangkan, jika tetap bersikukuh ingin berdebat dengan gadis itu.

"Mati saja sana!" ketus Heri pada akhirnya.

"Belum mau." Dian menenggak air minum bersoda miliknya, tinggal tersisa setengah gelas.

"Kenapa?" Heri penasaran.

"Aku harus--" Dian tidak melanjutkan perkataanya. Percuma, mereka tidak akan bisa membantu.

"Apa?" Ridwan ikut menimpal.

"Tidak ada." Hari ini bocah tengil itu mengenakan kaus biru. Dia kembali melanjutkan kegiatannya bermain gim.

"Sebenarnya, di mana rumahmu? Dari mana asalmu?" berundung Ridwan.

"Tidak tahu."

Selesai. Ridwan menyerah. Dia berjalan keluar ruangan.

"Ke mana?" teriak Heri.

"Neraka."

Dian tertawa. Entah mengapa, kata neraka menjadi sangat populer di antara mereka bertiga.

"Jangan tertawa! Atau kukirim kau ke neraka," ancam Heri, tetapi berbanding terbalik dengan akibatanya. Gelak tawa menyahuti lebih gila.

"Terserah!" Heri bangkit, ikut berlalu.

Ke neraka.

Tawa Dian semakin keras. Ini benar-benar hari neraka sedunia mereka bertiga.

Dian mengusap setitik bulir bening di sudut mata, keluar karena terlalu menikmati kebahagiaan sederhana. Si mungil merogoh saku, mengeluarkan plastik kecil.

"Sebenarnya, benda apa ini?" tanya Dian pada diri sendiri, seraya mengamati kembali temuannya. Gadis mungil itu merasa bahwa partikel di genggaman, memiliki bentuk serupa seperti bentuk jantung optimus prime--film robot yang berasal dari negeri Paman Sam.

Apa mungkin ....

Dian tersenyum. Dia memang si penggila imajinasi. Sekenanya membayangkan bahwa robot yang bisa berubah menjadi mobil itu, benar-benar ada. Sedang menunggunya untuk ditemukan. Namun, jika memang benar ada, akan seberapa kecil ukurannya, jika jantungnya memiliki ukuran sekecil tutup botol sirop batuk milik Kak Tania?

DianTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang