20. Rasyi dan Achi

231 34 3
                                    

"Tak kutemukan gairah hidup, sampai Tuhan mengirimkanmu untukku."

***

Ruangan berukuran 7 x 5 meter itu, sudah lebih dari cukup untuk bisa ditinggali Rasyi sendirian. Dengan toilet umum di luar juga kawasan ramah dekat sekolahnya.

Dian yang memberikan, tempat indekos kecil di Desa Sakawayana.

Sosok penyelamat tak terduga itu datang. Mengancam akan melaporkan kekerasan. Dan dirinya menyatakan siap menjadi saksi, apa pun yang terjadi. Rasyi mensyukuri itu.

Dian membawanya pergi setelah berdebat hebat dengan Mama tiri. Ah, gadis itu sungguh piawai dalam membuat lawan bungkam dan lemas. Lihatlah! Bagaimana kaki kecilnya itu bisa mengoyak gerbang rumah yang bertengger mengekang.

Rasyi melipat selimut biru terang, menumpuknya bersama dua bantal. Dia menengadah, memperhatikan jarum jam merah bergerak beraturan. Berdetak, berarah, dan diam di sana. Betapa rotasinya hanya itu-itu saja.

Gadis berpiyama hijau bangkit dari kasur lantai. Melipatnya juga lalu menguncir rambut sebahu. Niatnya ingin mencari makan di luar.

Ia masih tak percaya. Setelah pilu di rumah itu, Dian tiba-tiba mengulurkan tangan dan menariknya keluar. Tuhan tengah berbaik hati. Begitu simpulnya.

"Bu, nasi kuningnya satu," pinta Rasyi pada ibu penjaga warung 24 jam.

Pesanannya terulur. Achi menerima dan berbalik untuk kembali. Namun, langkahnya tercekat. Sosok kakak yang ia benci menjelma di depan mata.

"Mau apa?" Suara gadis berpiyama hijau bergetar. Takut, kabut, dan memilu pada sederet prasangka hati.

"Kita perlu bicara. Ikut aku."

Rasyi menggeleng.

"Rasyi!" bentak Regar.

"Ikut aku."

Pada akhirnya, gadis itu menurut. Mengekor dengan menunduk dalam.

Langkah dua pasang kaki mengarah pada mobil hitam di tepi jalan. Regar menyuruh masuk dan di dalam sana keduanya mulai berkoar.

"Aku tidak mau!" tolak Rasyi pada penawaran sang kakak.

"Kau tidak punya pilihan. Kau tahu itu." Regar memperingatkan.

Rasyi mencengkeram ujung baju. Mengapa begini? Baru saja ia merasa terselamatkan, dan sekarang .... Haruskah?

"Aku tidak mau." Gadis itu kembali berusaha menolak.

"Apa susahnya?" Regar menyeringai. "Lakukan seperti masa lalu. Kamu ingat?"

Tentu. Rasyi mengingatnya, sangat. Saat embusan napas terakhir sang ibu dan dirinya terlibat dalam alasan itu.

"Aku tidak bisa."

"Kenapa?"

Tidak dia. Tolong, yang lain saja. Jangan dia.

Ah, permainan macam apa ini? Rasyi tertunduk. Dia tak berdaya, sungguh. Kehidupan sedang mengujinya lagi.

"Lakukan, aku menunggu hasilnya. Oke?"

Rasyi tak menjawab. Dia keluar dari mobil hitam, melangkah gontai. Menapaki para kerikil yang bertebaran.

Tuhan ....

Lesung pipinya lenyap. Berganti dengan butiran hangat yang silih berdesakan. Ingin membentuk anak sungai, tetapi Rasyi menolak kuat.

Menengadah, langit indah. Dan dia di bawahnya, bernaung sendirian.

DianTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang