"Kamu ingin tahu tentangku?
Jika begitu, berikan aku ruang untuk menjadi penting dalam hidupmu."
***
"Dian Firdaus?" Hasan ingin memastikan, ditanggapi Dian dengan anggukan.
"Di mana kamu tinggal?" Untuk pertanyaan kedua, gadis itu memilih bungkam.
"Di mana kamu tinggal?" Pak Hasan berhenti mengetik. Menatap nyalang sosok mungil di hadapan.
"DI MANA!" sentaknya lagi.
Dian menggeleng.
"Baiklah, kau akan saya kirim--" Ucapan Pak Hasan berhenti. Lampu di atas kepala berkedip tiga kali, lalu mati.
"Kenapa lampunya padam?" Heri mengorek saku celana, mencoba mencari alat penerangan yang biasa ia bawa.
"Ini memang sering terjadi," dalih Hasan. Tangannya sibuk bergerak menelusuri meja, mencari keberadaan ponsel.
Namun, belum sempat Heri menghidupkan senter, belum sempat Pak Hasan menemukan gawai, lampu ruangan sudah kembali menyala seperti semula.
"Apa yang terjadi?" Heri tak paham.
Ridwan bersandar di penyanggah pintu, menunjuk dengan dagu pada sosok mungil di depan KWH. Gadis itu terlihat sedang mengembalikan posisi awal penutup pengendali listrik.
"Dari mana kamu belajar memperbaiki listrik?" Heri berjalan mendekati Dian. Membantu gadis kecil turun dari kursi pijakan tambahan.
"Dari tv," cetus Dian enteng.
"Bagaimana bisa kamu memperbaiki listrik secepat tadi?" Pak Hasan ikut menyuarakan rasa penasaran, saat Dian kembali memasuki ruangan.
"Anda ingin tahu?" Dian tersenyum penuh makna. "Biarkan saya tinggal di sini, dan Anda akan tahu."
"Kau gila!" sergah Heri. Polisi berkulit lebih bersih itu tak paham jalan pikir gadis berkucir satu. Baru beberapa jam lalu ia temui. Dan sekarang, apa si pemilik mata sedikit sipit berniat cari masalah lagi?
"Apa kau tidak tahu--" Ucapan Heri berhenti tepat pada saat Dian mengangkat tangan kanan, meminta polisi penangkapnya diam.
Melihat itu, Ridwan tertawa sedang Heri mendengkus kesal.
"Hei, bocah," panggil Pak Hasan. "Apa untungnya bagi saya jika kau tinggal di sini?"
"Saya bisa memperbaiki banyak barang." Dian mengerlingkan mata.
"Seperti?"
Dian tersenyum. "Anda akan tahu jika Anda sudah mengizinkan saya tinggal di sini."
"Setuju." Hasan mengangguk, melipat tangannya di depan dada. "Tapi saya tidak punya tempat tidur untukmu."
"Tidak masalah, saya bisa tidur di mana saja."
Ya, di panti dia sudah banyak mengalami hal buruk. Perihal tempat tidur, Dian tidak akan mempermasalahkan jika pun harus tidur di luar ruangan.
Asal jangan dikirim ke panti, desisnya dalam hati.
"Sebenarnya, berapa usiamu?" celetuk Heri.
"Sepuluh."
Bocah berbaju abu-abu berjalan mendekati kursi panjang, merebahkan tubuh di atas sofa.
Dian mengerti arah pertanyaan polisi baru merujuk pada pembawaanya yang terkesan tenang. Namun, sang gadis memilih merapatkan kelopak mata. Tidak berniat memberi tahu Heri, bahwa itu semua ia dapatkan dari sejumlah film aksi. Juga, sikap sok tahunya yang berlebihan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Dian
Fiksi RemajaTAMAT. __________________ Purnama memisahkan. Tinggallah kaki menapak sendiri. Limbung di atas terjal Bumi mendingin. Kenali, tetapi jangan mengasihani. ---------------------------- (UPDATE SETIAP HARI RABU) ____________________________ #Kolaborasi7...