"Apa ada yang bisa menjelaskan, aku terluka lalu apa?"
***
Di atas sana sudah ada mega. Dan di bawahnya, gadis dengan kaus bergaris pink putih memainkan pensil. Menarik dari satu sisi ke sisi lain, hingga terbentuklah sebuah denah sederhana.
"Kurasa tidak seperti ini." Dian meletakkan kembali hasil karyanya di atas meja berukuran 3 x 1 meter.
Sembari mengamati kembali gambar, Dian bergumam, "Seharusnya, ada sebuah tempat khusus untuk memproduksi ulang barang yang dicuri."
Dian berbalik. Melangkah mendekati jendela terbuka. Dari sana, hamparan sawah lebih leluasa ia nikmati. Sungguh hebat Sang Maha Pencipta. Gadis yang kali ini bercelana training, merogoh saku, mengeluarkan benda kecil yang tampak berkilauan. Mengamatinya, menggenggam erat, lalu memasukkannya kembali ke tempat semula.
Kurasa, kasus ini akan sangat merepotkan.
Dian berdecih. Ia menggigit bibir dalam. Berbalik, memandang ulang meja sederhana di tengah rumah pohonnya, eh tidak-tidak, rumah pohon seniornya di sekolah.
Setelah ia benahi, ternyata bangunan kayu tanpa cat itu cukup nyaman dan aman untuk ditempati. Akhir-akhir ini, Dian lebih senang memikirkan tugas dengan mengambil lokasi di luar rumah. Dan tawaran Fajar kemarin, sangat menjawab keinginannya itu.
Dian kembali menghampiri meja. Ia satukan semua kertas yang berceceran. Memasukkannya pada ransel, lalu memacu kaki menuruni rumah pohon.
Lingkaran waktu di tangan sudah mengabarkan, bahwa hari sudah mulai petang. Dan Heri tidak akan bisa lagi diajak kompromi, jika tentang jam pulang.
"Mau pulang?"
Dian menoleh dan didapatinya Fajar dengan Alquran hitam di dekapan. Dian tersenyum. Apa lagi ini? Mendadak si badung berubah menjadi pemuda beriman?
"Kenapa?" Fajar tahu, tetapi dia berbasa-basi. "Biar kuantar kamu pulang."
Dian menggeleng, kembali melanjutkan langkah. Di belakangnya, pemuda dengan baju koko mengikuti dan mengawasi, tetapi Dian tidak peduli. Terserah!
Membelah arah di jalan dengan aspal kasar, Dian mempercepat tempo langkah. Sayup-sayup kumandang Azan Magrib telah saling bersahutan.
Semoga Heri sedang dalam keadaan hati yang baik, doanya dalam hati.
Saat kaki telah sempurna menuntaskan jalan Sakawayana, Dian bisa merasakan Fajar sudah tidak ada di sekitar. Dan Dian terlalu malas untuk memastikan. Ia kembali melaju cepat dengan sepatu olahraga hitam yang ia kenakan. Memperpendek jarak dengan pintu depan, lalu mengetuknya saat tangan tak berhasil membuka paksa.
"Halo, ada orang di dalam? Aku pulang," teriak Dian berulang. Namun, belum juga ada jawaban. Ia berbalik dan terduduk di tepi teras. Memindahkan ransel ke dalam pangkuan, memeluknya erat. Ke mana dua pengasuhnya pergi?
Dian mencebik. Memangku dagu dan menilik langit yang hampir kelabu.
Jika langit roboh, apa yang akan terjadi? Apa kiamat yang sering Kak Aina ceritakan benar-benar akan terjadi?
Menghela napas lelah, Dian mendadak merindukan guru kalemnya itu. Kerudung berwarna krem, gamis hitam, dan polesan make-up ringan selalu terasa menyegarkan mata. Betapa sangat benar jika Ridwan dan Heri mengagumi gurunya itu. Bahkan, jika ia lelaki, mungkin Dian akan ikut bersaing memenangkan hati Kak Aina.
Memangnya, lelaki mana yang tidak ingin memiliki istri salihah seperti Kak Aina?
Dian bahkan berani bertaruh, senakal-nakalnya lelaki, pasti menginginkan pendamping salihah.

KAMU SEDANG MEMBACA
Dian
Teen FictionTAMAT. __________________ Purnama memisahkan. Tinggallah kaki menapak sendiri. Limbung di atas terjal Bumi mendingin. Kenali, tetapi jangan mengasihani. ---------------------------- (UPDATE SETIAP HARI RABU) ____________________________ #Kolaborasi7...