07. Pelita Sayu

305 34 13
                                    

"Menerima dan diterima, adalah kunci perdamaian antara hati dan takdir."

***

Mentari telah hadir. Balutan cahaya membias bersama aroma pagi. Sepasang kaki bersepatu pantofel ditekuri manik lesu. Ia mainkan sebagai obat bosan. Sesekali dia menghela napas, mencoba menyamankan diri.

Bukan tanpa alasan, sebab hari ini, untuk pertama kalinya setelah 7 tahun, si pemain di balik layar akan kembali bersosialisasi dengan rekan-rekan sebaya.

Gugup? Jelas. Peluh dingin telah lebih dulu membanjiri. Dian tidak pernah menyangka, bahwa berkenalan bisa sangat semenyiksa ini.

Terlebih, kelasnya adalah kelas otomotif. Biasa didominasi para kaum pria. Dan dari info yang ia dapat, Dian adalah satu-satunya siswa perempuan di kelas Multi Otomotif 2.

"Nak Dian," panggil seorang pria dewasa dengan seragam guru. Pak Diden namanya. Guru tampan yang memperkenalkan diri sebagai Guru Matematika.

Dian mendongak, melempar senyum canggung. Sebab, Pak Diden mengatakan, bahwa dia sudah harus masuk dan berkenalan.

Tuhan, bantulah aku untuk menghilang dari sini, doa Dian dalam hati.

"Ayo, jangan malu," kata Pak Diden, menyemangati.

Gadis yang hari ini berseragam putih abu-abu, berjalan gontai. Doa ia rapal dan napas ia tahan. Rasanya, ini lebih menyiksa daripada berhadapan langsung dengan anjing pemburu milik Sensei Hasan.

Empat puluh lima pasang mata menatapnya. Beberapa laki-laki terlihat mengerlingkan mata. Bersama suitan ia disambut cukup meriah. Terlebih, beberapa siswa ada yang sengaja berdiri dan dengan lantang menanyakan statusnya: apakah sudah punya pacar, atau belum?

Dian merasa ini lebih mengerikan daripada yang diceritakan Heri dan Kak Aina. Lihatlah orang-orang itu. Entah mengapa, Dian seolah menangkap keinginan penonton untuk menelannya bulat-bulat.

"Silakan, perkenalkan dirimu."  Pak Diden sudah duduk santai di kursi guru.

"Assalamu'alaikum, Ukhti," teriak beberapa siswa, saat netra mereka menangkap bayangan gadis berseragam syar'i.

Dian menelan ludah. "Hay," sapanya, disambut meriah oleh 45 siswa.

"Nama, Neng, nama," seru laki-laki dengan seragam putih lusuh.

"Dian Firdaus."

Para pendengar serempak mengangguk, menggemakan kalimat mengerti secara bersamaan. Selanjutnya, beberapa pertanyaan konyol muncul, dan Dian tak berniat menanggapi. Mereka para remaja labil. Seharusnya, pertanyaan-pertanyaan formal yang dikuak. Dian sudah mempelajari itu dengan Heri, tetapi latihannya tidak berguna apa-apa di situasi asli.

Setelah dirasa cukup, Pak Diden mempersilakan Dian duduk di kursi paling depan. Sejak awal, memang terlihat tak berpenghuni. Hanya ada seorang lelaki beralis tebal di kursi bagian kiri.

"Cantik."

Dian menoleh. Ditemukannya sepasang mata dengan bola mata hitam pekat mengarah padanya. Pemandangan elok untuk kaum hawa pencari perhatian.

"Sorry," lanjut lelaki itu terlihat santai.

Dian tidak berniat menimpali percakapan. Tangannya dia sibukkan dalam usaha mengeluarkan alat tulis.

"Surya."

Dian kembali menoleh, dan yang ia temukan masih sama: si jangkung beralis tebal. Memiliki pesona cukup untuk menarik kisah kasih dari banyak wanita.

DianTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang