25. Drama di Malam Kelabu

230 38 8
                                    

"Jika tidak berniat membuka hati, mengapa kamu berbaik hati padanya?"

***

"Waktu itu, lo ngebicarain apa sama Pak Heri?" Dian menatap Fajar. Lelaki itu tengah berjongkok dengan gulungan tembakau terselip di jemari kanan.

"Tidak tahu. Pak Regar hanya menyuruhku memberikan beberapa lembar kertas," jawab lelaki bersurai sedikit ikal.

"Apa isinya?"

Fajar tampak berpikir sebentar. "Sepertinya, nilai murid-murid di kelasmu."

Dian ber-oh panjang.

"Kenapa?" Fajar tak lagi dalam posisi jongkok. Mematikan puntung rokok, menatap gadis yang berdiri di sisi kiri.

"Tidak ada."

"Sedang apa di sini?"

"Tidak ada."

"Apa kamu tidak memiliki jawaban lain?"

Dian nyengir.

"Bagaimana hasil lomba kemarin?"

Giliran Fajar–mendelik, memandangi penanya setengah menghina. "Kenapa kamu ingin tahu?"

Dian gelagapan. Ia memutuskan tidak peduli, lalu bergegas melanjutkan tujuan–kembali menikmati pelita sore di rumah pohon.

Jika hari terus megah dengan mega, apa Bulan akan cemburu digantung waktu tanpa ada kepastian, kapan dirinya bergilir? Namun, Tuhan memang Mahaadil. Dian mengakui itu.

Hari ini si gadis penyuka film aksi mengenakan kaus olahraga SMK. Dia menaruh ranselnya di atas meja. Melangkah mendekati jendela terbuka, membiarkan mata telanjang merekam pesona mentari terbenam.

"Ini sudah mau malam, kau tidak ingin pulang?" Fajar bertanya. Laki-laki berkaus pendek berpadu celana abu-abu itu sudah ada di sisi Dian. Ikut menikmati sajian mega di ujung cakrawala.

"Kenapa lo manggil Pak Regar gitu? Bukannya dia bokap lo?" Dian mengalihkan pembicaraan.

"Setelah membunuh ibuku, dia hanya orang asing." Tampak jelas kabut hitam bergerumul dalam manik tegas sang tuan. Sangat kelam, dalam, juga membayang.

Dian diam. Tak ingin membahas lebih jauh.

"Dian ...."

Yang dipanggil berdehem sebagai jawaban.

"Kita keluar sebagai juara harapan. Semua itu berkatmu. Datanglah ke kedai Bakso Barakatak. Hadiah lomba kita vocher makan di sana," terang Fajar.

"Kapan?"

"Malam ini. Jadi, pulanglah. Aku akan mengantarmu."

"Tidak perlu."

Dian berbalik, meraih ransel, menuruni tangga. Namun, Fajar masih saja begitu, tetap mengikuti walau sudah dilarang.

Sebelum memasuki kawasan komplek perumahan, Dian berbalik sebentar. Lalu berpesan, "Gue gak janji."

"Apa?"

"Dateng ke kedai bakso itu."

Fajar tidak merespon. Dia pandangi tubuh mungil itu, hingga sang puan menghilang di kejauhan.

"Kamu akan datang," ujarnya dengan manik menjurus agung pada lenggang jalan raya di hadapan. Sedangkan dia adalah lelaki tampan di persimpangan.

Dirasa sudah cukup, Fajar berbalik, disambut Azan Magrib silih bersahutan.

**

Hidup hanyalah tentang ketidakpastian. Percayalah, saat kamu berencana, ada 1001 kemungkinan ketidakserasian antara keinginan dan kisah nyata yang tertuang. Seperti Dian, tak disangka, Tari datang menjemput. Mengajaknya berkumpul bersama regu LBB.

DianTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang