"Waktu telah menelanku, tetapi hati ini masih saja setia pada kenangan itu."
***
Sunyi menyelinap. Memadu kasih bersama gelap. Hawa dingin menghardik. Mengantar insan lelah untuk terpejam dan terlelap. Sudah cukup untuk hari ini, pagi di hari baru telah menanti di ujung fajar.
Purnama masih terlihat anggun di pucuk malam, sedangkan kelabu jelas menyatu dengan biru langit dilahap angin rawan. Tidak ada siapa pun. Kota telah melebur bersama embusan angin malam.
Di antara irama nada burung hantu dan gemericik gerimis hadir menemani, tiga pasang kaki bersepatu hitam berlarian membelah gang. Dua pemuda dan satu muslimah berseragam syar'i. Di belakang mereka, sepuluh pemuda berpakaian polisi mengikuti dengan lihai tanpa suara.
"Kau siap?" tanya laki-laki dengan pangkat kepolisian berbentuk huruf V. Sorot matanya tegas, mengandung dorongan meyakinkan. Sedangkan deru napasnya terdengar merdu, walau samar. Pemuda itu begitu pandai dalam menyembunyikan keberadaan.
Dua sosok yang ia ajak berdiskusi pelan, mengangguk mantap. Sejurus kemudian, mereka membagi regu menjadi dua kelompok.
Brigadir Ridwan Hermawan dan Briptu Heri Kusuma, bergerak memasuki gedung, sebuah bangunan tua kumuh tak terawat.
Heri mendobrak pintu. Sedangkan Ridwan bertugas mengarahkan sepuluh bawahan meringkus penghuni bangunan--para manusia hilang arah yang tengah berpesta di antara kerlap-kerlip lampu, dan nyaringnya musik menyakitkan pendengaran.
"Tangkap dan jangan biarkan satu pun lolos," titah Ridwan, mutlak.
Pimpinan operasi menaiki tangga. Misinya kali ini, membekuk tuan rumah dari pesta barang haram. Dengan lihai dan cepat, Ridwan menerobos setiap pintu. Ada beberapa penjaga ditempatkan di sana.
Dibantu Heri, ia melumpuhkan lawan, berjalan terus menyusuri lorong panjang.
"Di sini," ucap Heri, ditanggapi dengan anggukan oleh pimpinan misi.
Sejurus kemudian, Heri mendobrak pintu, sigap mengangkat senjata api.
"Jangan bergerak!"
Namun, ruangan berukuran 10x12 meter itu kosong. Tidak ada siapa pun di sana.
"Sial!" Ridwan menendang meja panjang di tengah ruangan. Si kayu mahal yang tampak seolah mengejek kegagalannya.
"Ayo! Dian pasti membutuhkan pertolongan kita," ajak Heri disetujui lawan bicara.
Memang benar. Seratus meter dari mereka, seorang gadis berusia 17 tahun, tergeletak di bawah mobil anti peluru. Tangannya begitu apik menjamah setiap organ mobil. Dengan berbekal jepit rambut, ia membongkar titik utama mesin, dan memasukkan penemuan terbarunya.
Sesekali peluh gugup dia usap dan tangannya yang yakin, kembali bertindak. Ia harus menyelesaikan tugas dan melaporkan hasil memuaskan. Si tua bangka itu harus Dian buat tercengang dengan kemampuannya, ia dapat dari sejumlah film aksi.
Jepit rambut kecil miliknya bukanlah hiasan rambut biasa. Gadis cerdik telah memodifikasinya hingga bisa dia akui sebagai karya terfavorit. Dalam jepit hitam dengan dua cabang, telah ia selipkan sejumlah teknologi. Seperti, kamera pengintai, pendeteksi bom, sensor penghancur, dan Dian biasa menggunakan permukaan luar untuk membongkar barang.
Di tengah gerak-geriknya, manik tenang menangkap dua pasang kaki berjalan ke arah mobil. Dian memasang kembali jepit rambut lalu berguling memasuki semak-semak.
Dua laki-laki berjas hitam bergerak tergesa memasuki si roda empat. Mobil dinyalakan, berjalan cepat, dan 5 meter kemudian ... ledakan. Terjadi ledakan dahsyat di ujung pertigaan.

KAMU SEDANG MEMBACA
Dian
Genç KurguTAMAT. __________________ Purnama memisahkan. Tinggallah kaki menapak sendiri. Limbung di atas terjal Bumi mendingin. Kenali, tetapi jangan mengasihani. ---------------------------- (UPDATE SETIAP HARI RABU) ____________________________ #Kolaborasi7...