36. home

15.4K 2.5K 175
                                    

"Jaehyun—"

"Waktu kita tidak banyak," potong pria itu sambil memakaikan jaket, topi, dan masker miliknya pada Zea.

  Dirinya sendiri hanya menggunakan kaos hitam dan celana panjang trainer. Tidak lupa merapatkan tirai jendelanya, ia buru-buru menggandeng Zea keluar.

"Yoobin, ambilkan kunci mobilku," suruhnya pada seorang pria bertubuh tegap yang menjaga di garasi. Pria itu dengan cepat mengambil barang yang diminta.

  Jaehyun membukakan pintu untuk Zea dan mestarter mobilnya. Sampai saat ini gadis itu pun belum tahu alasan mengapa kekasihnya tiba-tiba bertingkah waspada seperti ini. Ia tidak berani bertanya.

  Tadi malam setelah Jaehyun membanting ponselnya, pria itu segera menyuruhnya tidur—menaikkan selimutnya hingga dagu dan tidak membolehkannya menghadap ke jendela. Dirinya juga didekap sangat erat. Dalam tidurnya ia tahu kekasihnya itu tetap terjaga.

  Cuitan burung saat fajar dan kondensasi embun pagi menemani mereka dalam diam. Jalanan bahkan masih sepi, kendaraan yang berlalu-lalang dapat dihitung oleh jari. Pendingin mobil terasa begitu menggigit kulit, ditambah lagi dengan suasana yang tegang seperti ini. Zea menoleh pada Jaehyun dan mendapatinya begitu terfokus pada jalanan.

"Jaehyun?"

"Hm?" jawabnya tanpa membuat kontak mata dengan gadis itu.

"Are you okay?"

  Jaehyun tidak menggubrisnya. Lampu lalu lintas berubah hijau. Ia menekan rem tangan dan memasukkan kopling lalu memacu mobilnya dengan kecepatan tinggi.

"I'm okay but you're not okay."

  Alis Zea bertautan. Apa maksudnya? Ia bahkan di sini tidak tahu apa-apa dan sekarang ucapan pria itu membuatnya semakin penasaran. Kenapa Jaehyun harus menutup-nutupi sesuatu darinya?

"Maksudnya?" tanya Zea lagi.

  Jaehyun mencengkram setirnya lebih kuat. Lidahnya terasa sangat pahit sejak malam, "Jangan percaya siapapun mulai detik ini, terkecuali aku."

  Gadis itu lalu terdiam. Ia paling benci jika Jaehyun sudah seperti ini. Tinggal beritahu padanya apa yang terjadi kenapa sulit sekali, sih? Dari awal sudah ia tekankan bahwa komunikasi adalah segalanya. Ia tidak ingin pria itu menderita sendiri seandainya ada hal yang membuat hatinya gundah gulana, seperti sekarang ini.

"Aku tidak mengerti," balas Zea pelan. Butuh beberapa saat sebelum ia berkata itu.

  Jaehyun memejamkan matanya sejenak, "Tolonglah, Zea. Dengarkan apa yang aku katakan. Semua ini sulit sekali."

"Lalu kamu pikir aku di sini tidak merasakan kesulitan juga?" suara Zea meninggi.

  Sungguh dirinya tidak ingin bertengkar dengan Jaehyun sekarang. Ia hanya ingin diberi penjelasan. Cukup itu yang ia butuhkan sekarang. Bukankah memang pasangan yang berkomitmen selalu percaya pada satu sama lain? Atau Jaehyun memang tidak memercayainya?

"Aku lelah sekali. Kumohon jangan bertengkar hanya karena ini."

  Bibir Zea bergetar. Ia mendengus pelan, "Lelah? Aku juga lelah, Jaehyun. Kamu pikir selama ini kita berjuang sendiri-sendiri?"

  Gadis itu membuang wajahnya ke arah jendela. Kalau begini terus masalah yang ia harus hadapi, bisa-bisa mati karena terlalu sering membatin. Di satu sisi, Jaehyun enggan memberitahunya karena tidak ingin membuatnya risau.

"Maaf," ucap pria itu lirih. Sangat lirih bahkan kerisik daun yang jatuh saja terdengar lebih keras dibanding permohonan tersebut.

  Bukan kata itu yang ingin Zea dengar. Ia mengerti mungkin Jaehyun menutup-nutupi sesuatu darinya karena tidak ingin membuatnya khawatir. Tapi di sini ia juga ingin membantu menyelesaikan masalah tersebut. Selalu dirinya tidak tahu apa-apa ketika pria itu ditimpa masalah. Membuatnya merasa tak berguna. Titel 'kekasih' itu hanya sebagai pajangan saja.

My Melody✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang