4. another call

28.6K 4.1K 14
                                    

  Jemari Zea terus meremas rok spannya. Jantungnya berdegup sangat kencang.

2 menit lagi, batinnya.

  Suasanya Lumiere Limited memang tak tampak ramai. Mungkin para pegawai sedang bekerja di ruangannya masing-masing. Pendingin ruangan sudah disetel sedemikian sejuk namun tetap saja ia berkeringat dingin. Bolak-balik ia mengaca di ponselnya—mengecek apabila lipstick nya telah pudar atau tidak.

"Ms. Kim Zea?"

  Langsung saja ia menoleh ke pemilik suara tersebut—seorang perempuan muda dengan rambut yang di-highlight merah. Sungguh nyentrik.

"Yes, that's me," jawab Zea lantang lalu berdiri. Menggenggam erat map berkas-berkas yang dibawanya.

"This way, please."

  Zea berjalan mengekori perempuan tersebut yang membawanya ke sebuah ruangan berukuran besar. Dindingnya putih tulang dan di dalamnya terdapat sofa berwarna senada. Nyaman sekali.

  Seorang pria paruh baya sudah menunggu di dalam. Ia terlihat hangat. 'Syukurlah', batin Zea. Setidaknya ia tak perlu takut pada orang yang akan mewawancarainya itu.

  Tak ada basa-basi, pria tersebut langsung saja pada intinya,

"So do you think you deserve this position?"

***

  Diteguknya air mineral itu dengan cepat. Sekarang ia sedang berada di kafe terdekat dari Lumiere. Perutnya sudah tak kuasa menahan lapar. Wawancara tadi sungguh menguras tenaganya. Masih terngiang di kepala Zea tentang wawancara tadi.

"Anda akan bertanggung jawab langsung pada CEO perusahaan ini. Artinya, anda akan selalu ikut beliau saat business trip ke negara yang menggunakan bahasa Mandarin. Beliau berhak memecat secara langsung apabila performa yang anda tunjukkan tidak sesuai ekspektasinya," jelas pria paruh baya tersebut.

Zea terpaku. Berarti posisinya ini memang benar-benar vital. Ia harus berdedikasi penuh pada pekerjaannya.

"Jadi, apakah Anda bersedia?"

Lamunan Zea buyar, matanya mengerjap cepat, "Ya, tentu saja."

Anehnya, pria tersebut tidak menanyakan pengalamannya sama sekali di bidang ini. Bahkan Zea hanya menggunakan IPK kuliahnya untuk melamar di Lumiere. Bukankah seharusnya mereka bertanya lebih dalam bila posisi yang diperlukan ini begitu vital? Apa mereka memang membutuhkan cepat seorang penerjemah dan sama sekali tidak ada yang minat untuk mengisi posisi ini?

Terlalu pusing bagi Zea untuk memikirkan semua ini. Baginya, sudah dilirik oleh perusahaan sebesar Lumiere saja sudah mengejutkan. Ia tidak berharap muluk-muluk untuk diterima langsung—apalagi belum punya pengalaman.

Tiba-tiba ia memekik, "Ah ya aku hampir lupa dengan iklan les piano!"

***

My Melody✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang