47. how the table turns

13.3K 2K 835
                                    

Peluh sebesar biji jagung menetes dari dahi Zea. Lengannya terasa kebas mengangkat plastik-plastik besar berisi kostum pentas, instrumen musik dan perangkatnya untuk pertunjukkan kuartal musim semi tahun ini. Semua penghuni panti yang sudah cukup umur saling membantu mempersiapkan kepentingan untuk acara nanti. Sedangkan yang lainnya tetap di panti, berlatih menyempurnakan gerakan mereka.

"Zea, apa yang tersisa di mobil?" tanya Juna dari kejauhan pada gadis itu yang tengah berdiri di depan bagasi.

Zea melirik isi bagasi mobil, "Sisa kabel AUX dan peralatan make-up, biar aku saja yang bawa!"

Juna lalu mengangguk dan kembali lagi dengan kesibukannya di belakang panggung. Sementara Zea masih berkutat membereskan bagasi dan membenarkan posisi kursi yang dilipat. Setelah ini ia akan kembali ke panti untuk menjemput anak-anak. Waktu masih menunjukkan pukul 9, namun perutnya sudah meraung-raung sedari tadi. Mau apa lagi? Tentu saja menunggu sampai jam makan siang tiba dan makan bersama anak-anak lainnya.

"!!! (mèi!!!)"

  Suara dan panggilan yang terdengar begitu familiar di telinga Zea. Tangannya berhenti membereskan bagasi, menoleh ke kiri dan kanan namun tidak ada siapa-siapa. Ia memutar badannya.

"KO WINGWING!!!" pekiknya lalu memeluk sosok tersebut dengan erat. Sudah 3 tahun ia tidak bertemu dengan lelaki ini. Winwin sudah ia anggap sebagai kakak keduanya.

  Lelaki itu membalas pelukan Zea dan mengusap puncak kepalanya, "你好吗? (nǐ hǎo ma?)

Zea menggelengkan kepalanya pelan sembari tersenyum. Ia yakin Winwin sudah tahu semuanya dari Juna, dan hanya ingin berbasa-basi saja sekarang.

"为什么? (wèi shén me?)" tanyanya lagi, menarik badan Zea dari dekapannya dan menatap gadis itu penuh sayang.

  Winwin juga memiliki nasib yang sama sepertinya, sebatang kara. Bedanya, lelaki itu seakan-akan 'dibuang' oleh kedua orangtuanya di panti. Mereka menitipkannya pada Milly dengan alasan akan menjadi tenaga kerja asing di Malaysia. Selang 2 bulan, tak ada kabar maupun uang yang dititipkan dari orangtuanya pada pihak panti. Selang 5 bulan, Milly mencoba membuat laporan orang hilang kepada dinas sosial dan tenaga kerja namun permintaannya itu tidak digubris. Akhirnya, ia memutuskan untuk merawat Winwin yang kala itu masih berusia 2 tahun di panti bersama dengan anak-anak lainnya.

Tuhan memang maha adil. Winwin yang diduga lahir prematur oleh pihak panti karena badannya sangat mungil dibanding teman sebayanya memiliki segudang talenta di usianya yang masih terbilang dini. Entah belajar dari siapa, di usia 5 tahun ia sudah piawai menari dan bermain piano dibandingkan anak-anak lainnya. Menginjak 10 tahun, ia fasih berbicara 3 bahasa yakni Inggris, Mandarin, dan Korea. Kejeniusannya membuat pihak panti mendaftarkannya ke sekolah umum di saat anak-anak yang lain menimba ilmu dengan homeschooling.

  Zea tidak pernah merasa iri dengan perlakuan panti terhadap Winwin. Menurutnya, lelaki itu memang pantas diperlakukan beda. Malahan, Zea kecil bercita-cita agar bisa fasih berbicara bahasa asing seperti Winwin dan menuntut ilmu di sekolah umum layaknya anak-anak sepantarannya.

"Mau pau kacang merah, gak?" tanya lelaki itu sambil mengelus puncak kepala Zea.

"Mau!"

Winwin tergelak lalu menyodorkan kantong yang dijinjing tangan kanannya, "Nih, makan yang banyak ya. Gak perlu mikirin Jaehon, Jehun-mu itu lagi. Koko gak suka."

4 tahun sudah berlalu namun lelaki itu masih saja posesif terhadap Zea. Sebelum gadis itu benar-benar memantapkan hati untuk menimba ilmu di Seoul, Winwin lah yang menentangnya terang-terangan. Zea, Juna, Winwin dan Milly duduk di ruangan tamu mencoba mendiskusikan perihal tersebut secara kepala dingin.

My Melody✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang