Sudah lebih dari 30 menit, ibu jarinya masih tak punya keberanian untuk menekan tombol panggilan pada kontak tersebut. Badannya merosot ke lantai, ia bersandar pada dinding kamarnya yang dicat coklat muda. Entah kapan dan mengapa ia bisa jadi seegois ini, namun gejolakan dalam dirinya berkata bahwa ia harus seperti itu. Tidak ada lagi rasa iba dan akal sehat yang ia miliki sekarang terhadap Zea.
Air mata yang dikeluarkannya bukanlah air mata penyesalan. Melainkan kekhawatirannya terhadap nasib bayi ini semata. Tidak pernah terpikir olehnya akan berbadan dua di usia yang begitu muda.
Baru saja gadis itu memantapkan hati untuk membuat sambungan, sebuah panggilan masuk.
Incoming call from Jaehyun...
Dengan tangan yang bergetar, ia mengangkat panggilan tersebut, "Halo?"
"Jieun," ucap pria itu di seberang sana dengan suara yang terdengar tergesa.
"Ya, Jaehyun?" jawabnya pelan.
"Bisakah kita bertemu besok di penthouse-ku? Ada beberapa hal yang ingin kubicarakan."
Jieun tertegun. Bibirnya terkatup rapat. Ia harap Jaehyun tidak memintanya untuk melakukan tes DNA. Sungguh dirinya tidak tahu darah daging siapa sebenarnya yang ia kandung sekarang. Tapi hatinya tidak tenang karena takut 'ayah sebenarnya' dari janin tersebut tidak mau bertanggung jawab jika memang anak tersebut bukanlah anak Jaehyun.
"A—ah. Oke," jawabnya terbata.
"Supirku akan menjemputmu ke sana besok. Hati-hati."
Sambungan tersebut lalu dimatikan oleh Jaehyun. Jieun menatap layar ponselnya sambil menghela nafas panjang. Tak tahu jin apa yang merasukinya sampai-sampai ia jadi egois seperti ini.
Ditatapnya kontak tersebut lamat-lamat. Katakan ia tega, tetapi ia harus menelepon Zea di sekarang dan mengaku bahwa janin yang dikandungnya sekarang ialah anak Jaehyun. Atas dasar apa ia akan mengaku pun tidak tahu. Ia egois, dan ia akui itu.
Nada sambung terdengar. Lalu keluarlah suara pelan nan lembut dari ujung sana.
"Halo?"
Jantung Jieun serasa berhenti berdetak. Mendengar suara Zea yang begitu halus membuatnya tidak tega. Tapi hatinya ternyata telah keras bagaikan batu. Tak sedikitpun niatnya untuk 'mengaku' itu luntur.
"... Halo?"
"Zea, ini Chilla," ucapnya singkat. Menghirup nafas dalam-dalam, mengumpulkan semua keberanian.
"Chilla?" Terdapat nada kekejutan dari seberang sana. Jieun tahu pasti Zea bertanya-tanya mengapa ia bisa menjangkaunya padahal sahabatnya itu telah menghapus semua kontak dan mengganti nomor ponselnya.
Ia memang tidak punya nomor Zea yang baru. Namun ia ingat, Zea pernah meminjam teleponnya untuk menelepon kakaknya yang bernama Juna karena saat itu ponselnya sedang bermasalah. Untung saja saat itu Zea menyimpan kontak Juna untuk berjaga-jaga bila kakaknya itu akan menelepon balik karena ponsel miliknya sendiri akan diservis selama seminggu.
"Maaf meneleponmu tiba-tiba... A—Aku benar-benar tidak tahu harus mengatakannya bagaimana. Pikiranku kalut memikirkan semua ini," ucapnya terbata. Nafas di kerongkongannya tercekat. Air mata di pelupuknya sudah siap jatuh.
"A—Apa? Jangan menangis, aku tidak mengerti."
Jieun mengepalkan tangannya kuat. Menepuk-nepuk dadanya yang sudah mulai sesak. Memiliki seorang teman dengan kesabaran begitu tinggi seperti Zea sangatlah jarang. Namun ketika ia sendiri menemukan orang seperti itu, malah disia-siakannya. Ia merasa sudah memanfaatkan segala kebaikan Zea yang telah dipercayai kepadanya.
KAMU SEDANG MEMBACA
My Melody✔️
Fanfic[bahasa | jung jaehyun x oc] "I'm a broken partition, an unfinished script and you are the pieces I've been searching for." My Melody, 2018 ©️ val-baby #1 in nct (02/03/2019) #1 in nct127 (05/06/2019) #1 in nct2018 (27/06/2019) #1 in jungjaehyun (27...