Apology | 1

17.7K 754 55
                                    

Langit begitu cerah dengan warna biru berkilas warna putih bagaikan kapas. Matahari begitu terik, sinarnya membakar kulit. Tetapi tidak menyulutkan semangat para remaja yang melaksanakan pelajaran olahraga di jam enaknya memejamkan mata, tidur siang.

Meloncat sembari meninggikan badan demi mencapai bola yang dilambungkan oleh seorang guru olahraga berperan ganda sebagai wasit. Jarinya lebih dulu menyentuh bola basket terlambung d iudara hingga tergeser dan berhasil ditangkap oleh teman satu timnya.

Lelaki yang berlari dengan headband berwarna putih dikepala itu melambaikan tangan meminta bagian permainan. Ia menangkap dengan cekatan lemparan dari kawannya lalu men-drible menuju lingkaran dari besi yang menggantung pada tiang.

Senyumnya merekah bersama peluh yang menetes. Ia melompat lalu melakukan shoot hingga mencetak angka. Teriakkan antusiasme memenuhi indera pendengaran bertepatan suara peluit panjang mengintrupsikan permainan berakhir. Pertanda tim mereka menang telak.

Damian dipeluk oleh teman setimnya, sedangkan tim yang kalah menggerutu sebal. Mereka mengambil posisi di atas tanah untuk melakukan push up atas hukuman kekalahan mereka. Beberapa anak perempuan yang menonton memekik girang. Mereka memberikan pujian pada Damian dengan antusias.

Mereka kembali berkumpul di pinggir lapangan untuk melakukan evaluasi sebelum mengakhiri pelajaran. Damian mengambil posisi barisan paling depan dengan kaki yang dibiarkan selonjor. Lengannya mengibas-ngibas wajah karena terasa panas. Lengan yang satunya lagi melepas headband yang mulai basah oleh peluh.

Guru olahraga mereka menjelaskan beberapa kesalahan yang dibuat saat permainan bola basket barusan. Semuanya memerhatikan, kecuali Damian. Pandangan mata lelaki itu tidak sengaja menemukan seorang siswi tengah menantapnya. Damian adalah orang paling peka jika ada yang memerhatikannya dalam diam.

Manik matanya memusat tertuju pada seorang siswi yang sedang memerhatikanya dari balik kaca bening jendela kelas lantai satu. Wajahnya begitu tenang tidak menyadari tatap balasan Damian.

"Silahkan kalian boleh istirahat." ucap guru olahraga itu membubarkan.

Saat pendengaran Damian menangkap suara gurunya, barulah Damian mengangkat lengan untuk melambai untuk menyapa gadis itu. Gadis itu terlihat membelalakkan mata seraya mengalihkan pandangan untuk tidak lagi melihat Damian. Siapa gadis itu? Kenapa begitu memikat saat pertama kali melihatnya? Jangan harap gadis itu bisa lepas setelah terciduk.

"Lo ngelambaiin tangan kesiapa, Damian?" Seseorang membeo tepat di sebelah lelaki itu.

Damian menoleh seraya tersenyum kembali memakai headband di kepalanya kembali. Ia menggedikan bahu acuh sambil berkata, "gatau."

Begitulah katanya pada Rebecca, teman sekelasnya. Lelaki itu bangkit, seraya melangkah meninggalkan kawanan kelasnya. Rebecca sendiri masih bingung atas jawaban singkat Damian.

Ia menetralkan degup jantung yang berdetak random. Baru saja, ia terciduk memerhatikan siswa handal bermain basket di lapangan tadi. Padahal ia hanya mencoba mengalihkan atensi dari kelas yang membosankan. Tanpa sadar pandangannya berpusat pada lelaki itu, Damian. Berawal dari sebuah kesalahan begitu takjub dengan permainan basketnya. Sekarang berubah menjadi malapetaka.

Kelasnya sedang kosong, alias sedang tidak ada guru. Entah untuk alasan apa gurunya hari ini tidak hadir. Jadilah begini kelasnya begitu ramai dengan para siswa yang mengobrol atau bercanda gurau dengan ria. Karena ia murid baru, tidak banyak yang mau mengenalnya lebih dulu sebelum Vrilla bergerak memperkenalkan diri.

Vrilla menatap ke arah depan kelas untuk mengalihkan atensi dari lapangan, lebih tepatnya lagi dari Damian. Tiba-tiba ia nyadari sesuatu yang ganjal, satu persatu teman sekelas mulai menatap kearahnya seraya kelas yang kian sunyi meredai. Tentu Vrilla bingung, alisnya saja bertaut sekarang. Apa ada yang salah dengan wajahnya?

Apology [Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang