Apology | 43

1.8K 176 3
                                    

Gadis berambut panjang bergelombang dengan iris mata coklat terang itu baru saja keluar dari toilet seorang diri. Penampilannya rapih namun tidak pernah terlihat ramah. Pernah sih, itu pun hanya beberapa kali jika bersama Damian dan Yuvi saja. Jika bersama Reno? Jangan ditanya! Vrilla selalu mengibarkan bendara peperangan yang abadi.

Ciri khas gadis itu adalah wajahnya begitu bersih dengan bibir kemerahan. Terlihat seperti pribumi namun memiliki sedikit genetik ke bule-bulean. Bukan hanya tentang Damian, Vrilla tanpa sadar memiliki daya tarik tersendiri menarik perhatian orang-orang, salah satunya termasuk sifatnya yang buat orang lain penasaran.

Vrilla menunduk untuk melihat tali sepatunya tak terikat, bebas. Gadis itu berhenti melangkah lalu mendengus malas. Ia menyelipkan beberapa helaian rambut ke belakang telinga lalu berjongkok. Namun panggilan seseorang langsung menghentikan aktifitasnya.

"Vrilla, ya?"

Vrilla mengadahkan pandangan. Lelaki berkacama dengan lengkungan bibir simetris membuatnya terpengarah. Dia ketua osis di sekolah mereka. Ia sudah pernah melihat lelaki itu beberapa kali dari jauh karena Yuvi selalu bersikap panik tiap kali ia bergentayangan. Biasanya Vrilla selalu mengatakan hal yang sama. Lelaki itu biasa saja.

Tapi,

Saat lelaki itu dalam jarak pandang kurang dari semeter buat Vrilla terpukau. Erza sangat tampan dengan kacamata bertengger pada hidungnya. Belum lagi senyuman lelaki itu bersinar, menyilaukan mata. Vrilla berpikir, Yuvi tidak salah memilih lelaki tipe idaman. Soal Reno? Abaikan saja.

Erza mengangkat kedua alisnya penuh tanya. Ia sedikit canggung karena respon Vrilla tak terdefinisikan. "La?"

Vrilla membulatkan mata lalu mengalihkan mata gelegapan. Setelah berdehem ia baru berkata, "i- iyah, kak. Saya Vrilla. Ada apa?"

"Bagus kalo gitu, kenalin gue Erza. Gue ada perlu sama lo."

Vrilla memiringkan kepala bingung. "Memang ada apa ya, kak?"

Erza tersenyum seraya merogoh saku di balik rompi yang ia pakai. "Ini tadi gue abis dari ruang guru. Besok lo ada pelajaran bu Rihka, kan? Nah gue disuruh sampein ini ke kelas lo. Karena ketemu lo, jadi gue titip sama lo."

Vrilla menatap kertas putih terlipat rapih. Ia menghela napas lega lalu mengambilnya. Beberapa detik, mereka melakukan kontak fisik. Hanya beberapa detik lalu berakhir. "Terima kasih ya, kak." ujarnya berusaha ramah.

"Iyah sama-sama." balas Erza tanpa melepas lengkungan bibirnya.

"Saya balik ke kelas- eh kak,"

Erza mengangkat kedua alisnya lagi penuh tanya. "Apa?"

"Anu, temen saya titip salam buat kakak. Namanya Cindy Yuvia." dustanya. Vrilla hanya ingin membantu sedikit tanpa memikirkan akibatnya.

Erza terkekeh renyah. Menyumbat indera pendengaran Vrilla syahdu. "Iya salam balik. Tapi kapan dia titip salam ke elo?"

Vrilla menggaruk belakang kepalanya yang tak gatal. Tadi ia iseng untuk membantu, berharap Yuvi akan senang padanya. "Sebelum saya ke toilet. Soalnya dia selalu bilang gitu ke saya. Kalo ketemu kak Erza titip salam."

Erza terkekeh lagi. Lelaki berkacamata itu mengusap puncak kepala Vrilla lembut. "Iya, titip salam balik buat Cindy."

Wajah Vrilla berubah. Ia memandang lengan yang terulur seenaknya di atas kepala. Mengusap tanpa izin, semena-mena. Ia tidak suka saat ada lelaki berprilaku seenaknya. Jangan salah, Vrilla juga tidak suka Damian awalnya. Tidak suka tiap kali lelaki memandangnya sama rata yang akan terpengaruh atas pesona murahan.

Apology [Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang