Apology | 20

2.5K 347 6
                                    

JARI KALIAN SAKIT YA
GAMAU VOTE KARYA AKU:(
.
.
.

Koridor dipenuhi murid hilir mudik. Disanalah targetnya terlihat jelas. Membawa skateboard dengan kupluk warna hitam menutupi rambutnya. Vrilla berlari tanpa suara lalu meloncat untuk mengagetkan Damian dengan antusias. Damian terjengkit, Vrilla sangat puas melihat reaskinya.

Vrilla tertawa bahagia, sangat ceria meski kemarin malam ia terpuruk. Damian menggerutu dengan menarik sebelah ikatan rambut Vrilla hingga gadis itu terhuyung. Meski begitu sang seempu tak menggubris, ia masih tertawa mengingat reasksi Damian barusan.

"Seneng lo, ya?" sinisnya.

Vrilla melirik lalu tersenyum. "Seneng banget, muka lo udah kaya badut aja. Lucu."

Damian terkekeh, "makasih, gue emang lucu."

Vrilla mencebikan bibir, "narsis lo."

"Lo yang muji gue loh."

Vrilla mendelik masa bodoh dengan ocehan Damian. "Gue bilang lucu bukan muji tapi ngejek."

"Gapapa, gue tetep makasih."

"Loh?"

"Walau pun lo ngejek, lo tadi merhatiin gue."

Vrilla menggembukan pipi. Damian pasti punya kata membuatnya kesal bersamaan berhasil mewarnai hidupnya. Menggelitiki perutnya dengan jutaan kupu-kupu berterbangan. Vrilla sangat suka sensasinya.

"La, lo seneng banget ya?"

"Hari ini lo udah nanya itu dua kali."

Damian terkekeh bersama langkah mereka memasuki koridor ruang kelas Vrilla. "Gimana hubungan lo sama Kemal? Udah lebih baik?"

Vrilla mendongak balas menatap Damian. Bukannya Damian ingin merebutnya dari Kemal? Lalu kenapa Damian masih peduli dengan hubungannya dengan orang lain.

Vrilla tersenyum kikuk sambil melarikan pandangan. "Yah gitu, baik-baik aja." dustanya. Entah, alasan apa yang ada di kepalanya hingga ia berbohong atas hubungannya yang telah berakhir.

Damian mengusap puncak kepala Vrilla lembut. "Kalo lo mikir kenapa gue masih peduli sama hubungan lo sama dia? Itu karena gue mau lo tetap bahagia. Meski gue suka sama lo, gue tetap mau liat lo bahagia dengan orang yang lo pilih."

Damian memicingkan mata, menerawang pada sebuah kejadian serupa. "Gue jadi ingat. Sebenarnya yang gue ucapin tadi selalu buat kak Kyara jijik. Sebab, ga akan ada orang yang suka liat orang yang disukainya bahagia dengan orang lain. Kak Kyara suka bilang bullshit."

Vrilla memandang senyum Damian yang mungkin mengandung luka. Damian selalu setegar ini? selalu mengalah pada kenyataan? Dan ucapan kak Kyara ada benarnya juga.

"Lo salah, La, kalo anggap gue ngalah. Seperti kata kakak gue, itu semua bullshit. Gue tetep bakal dapetin lo, tapi ga sekarang. Gue bakal tunggu lo sampe sadar saat balik ke belakang ada gue. Ngerti?" jelasnya seakan bisa mendengar gerutuan hati Vrilla.

Entah sejak kapan, tapi Vrilla merasa senang mendengarnya. Vrilla senang jika Damian tidak mengalah dan akan terus memperjuangkannya. Biarkan skenario yang ia buat tentang hubungannya dengan Kemal berlanjut, ia akan mengatakan hal sesungguhnya nanti saat benar-benar telah melupakan lelaki itu.

"Ngerti kok." jawab Vrilla sekenanya. Ia melakukan roll eyes.

Damian menarik rambut Vrilla hingga kepala itu terhuyung. Vrilla mendengus lalu memukul secara bertubi-tubi lengan Damian sekuat tenaga namun tak berdampak apapun bagi sang korban. Suara gelak tawa Damian semakin keras mengundang mata menatap mereka penuh pertanyaan.

***

"Hwahhh... hiks... hiks..."

Sejak kaki Vrilla menjejak diruang kelas, Yuvia tidak menghentikan tangisannya. Bahkan hari ini saat jam pelajaran pertama gadis itu izin ke uks karena alasan pusing. Nyatanya, ia hanya ingin menangis disana sepuas yang ia mau.

Vrilla menopang dagu di atas meja dengan kedua tangannya, lebih tepatnya ujung jarinya menutupi daun telinga karena pengang. Suara tangis Yuvi terlalu berisik, juga terlalu menarik perhatian.

Yuvi bernasib sama dengannya kemarin. Ia di putusi oleh pacarnya, namun dengan alasan yang berbeda. Jika Kemal menanggap Vrilla berselingkuh dengan Damian, lain halnya dengan pacar Yuvi yang berselingkuh dengan sahabatnya saat masih di SMP.

"Udah dong, Yuvi." Vrilla mengeluh. Bukannya menenangkan, gadis itu buat tangisan Yuvi kian bervolume.

Damian dan Reno duduk dihadapan mereka saja rasanya begitu risih tapi memiliki rasa iba walau secuil. Mereka bisa lihat sebesar apa kelopak mata Yuvi sekarang. Belum lagi air mata itu terus membasahi pipi tembemnya.

Vrilla mendengus sebal, menarik beberapa lembar tisu lalu berikan pada Yuvi dan langsung di terima. "Udah lah, Yuvi. Bukan jodoh lo. Pelajaran buat lo, lain kali kalau punya pacar jangan bilang sama temen nanti ditikung, mending bilang sama mamah biar di dukung. Bener ga?"

Yuvi berhenti menangis seketika. Ia menatap lurus Vrilla, mengangkat alisnya tampak acuh. "Lo ada benernya juga, tapi kalo gue mau curhat ke siapa dong? Ga mungkin selalu sama mamah gue, 'kan?"

Vrilla menggaruk kepala yang tak gatal. "Ginih aja, kalo lo mau curhat pastiin temen lo ga kenal sama cowo lo. Kaya gue misalnya."

Yuvi mengusap matanya yang basah. Tangisannya sudah mereda bersamaan minuman mereka telah sampai. "Gue cinta sama dia, La."

Vrilla melirik Damian, ia mengisyaratkan untuk bicara seperti waktu kemarin Damian menasehatinya tentang perang dan cinta. Memang dasarnya Damian tidak peka, ia hanya mengedikan bahu acuh. Jadilah ia yang akan berbicara, mewakili Damian.

"Ada yang bilang sama gue. Dalam cinta, perang, pengkhiatan dan mati adalah hal biasa. Tidak ada yang namanya pengalaman tidak berguna. Apa yang terjadi hari ini akan menjadi penentu jalan dimasa depan."

Damian tersenyum melihat Vrilla, bukan hanya mendengarkan ucapannya tapi Vrilla juga menerapkannya. Ia senang bisa membantu gadis itu. Yuvi terdiam menunduk dalam memainkan lembaran tisu bekasnya menyeka air mata.

"Cowo banyak, Yuvi. Contohnya Reno." lanjut Vrilla asal.

Uhuk-uhuk...

Reno tersedak saat sedang minum. Atensi yang lain langsung mengarah pada lelaki jangkung itu. Vrilla menyeringai, seakan ada niat tidak baik disana. "Jangan salting gitu dong." ujar Vrilla menggoda.

Reno melotot, "gue ga salting! Gue kaget aja lo pake bawa-bawa nama gue segala."

"Kaget atau... ucapan gue ngena?"

Reno menoleh pada Damian meminta pertolongannya. Namun seakan dia bukan temannya, Damian acuh dengan menggedikan bahu memilih memihak pada Vrilla. "Sialan! Pasangan kurang ajar!"

Damian dan Vrilla tertawa. "Idih marah."

Yuvi memandang Vrilla, Damian dan Reno secara bergantian. Meski dia kehilangan orang yang ia sayangi, ia masih punya teman-teman yang mendukungnya. Terutama Vrilla yang selalu baik padanya, acuh namun sebenarnya peduli. Terlihat seperti iblis berhati malaikat. Judes tetapi rendah hati.

Yuvi merentangkan tangan lalu memeluk leher Vrilla erat. Ia tersenyum manis seperti biasanya. "Makasih, La." seraknya.

Vrilla menggerutu sembari berusaha melepaskan pelukan Yuvi yang hampir membunuhnya. Tapi percuma, Yuvi terlalu bahagia hingga ia tidak bisa melepaskan Vrilla sekejap pun. Damian tersenyum, selalu tersenyum jika menemukan fakta manis tentang gadis yang ia suka itu.

Vrilla memang gadis yang baik.

***

Budidayakan memberi apresiasi pada hal kecil seperti vote. Terima kasih 👋
.
.
.

Apology [Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang