Apology | 21

2.2K 253 4
                                    

Pristinia Vrilla Douffa
.
.
.

Belum banyak yang mengenalnya dengan sempurna, namun nama Pristinia Vrilla Douffa cukup terkenal di SMA Provita. Gadis itu membereskan buku berserakan di atas lantai, lebih tepatnya di lantai koridor. Dua detik yang lalu, adik kelasnya tak sengaja menabrak hingga buku yang ia genggam berserakkan.

"Maaf, kak Vrilla."

Vrilla tidak terkejut adik kelas itu tau namanya. Sebab, sudah hampir sebulan ia bersekolah disini, hampir seluruh sekolah juga mengenalnya. Suka bertanya dan menyapanya, so dekat so akrab. Kenapa? Tentu saja ini berhubungan dengan Damian. Siswa primadona siswi SMA Provita.

Wajah Vrilla kelewat murka. Ia sangat tidak suka ada manusia yang menjadikan matanya sebagai aksesoris saja, hiasan tanpa guna. Lalu untuk apa Tuhan memberikan mata jika tidak di pakai?

"Em," Vrilla hanya berdehem. Tidak mau banyak bicara bahkan sampai marah-marah karena hal sepele. Ia fokus membereskan sendiri buku yang berserakan setelah mengusir adik kelas berdosa itu.

Menumpuk satu persatu buku hingga buku terakhir seseorang yang memberikannya. Vrilla menatap buku di hadapannya lalu beralih dengan siapa saja yang berusaha mencari perhatiannya. Setelah itu alisnya menaut, dia tidak suka keberadaan orang itu disana sekarang.

Vrilla merebut buku itu lalu bangkit bersama tumpukan buku yang lain di genggamannya. Bersamaan dengan itu, dari lapangan para murid sedang bermain bola basket bersorak setelah mencetak angka.

Alis gadis itu kembali seperti semula, tersenyum tipis melihat Damian menyisir rambut menggunakan jarinya. Lelaki itu tampak tampan dan berseri. Selalu menebar pesona layaknya menebar garam.

"Enak ya jadi elo, dengan mudah buat Damian terpikat." Rebecca masih setia berdiri di hadapan Vrilla. "Gue jadi belajar satu hal, jadi cewe ga boleh bersikap murahan sama laki-laki."

Vrilla kembali mengerutkan dahi. Entah Eka sedang memujinya atau malah sebaliknya. Tapi yang jelas, nada bicara Eka sedikit sinis.

"Tapi, gue ingin ngasih masukan ke elo. Dia berada di daerah yang cerah dan berkilau di kelilingi banyak orang karena ia begitu menarik, tapi elo. Lo tau sendiri, 'kan? Beda jauh. Kalo lo suka sama Damian, terus pacaran, kayanya hubungan kalian bakal berakhir tragis. Lo ga pantes di sisi dia, deh."

"Aneh sekali, memangnya lo punya hak apa bicara kaya gitu ke gue?" Vrilla menatap lurus lawan bicaranya. "Nasehat sebagai teman? tapi gue ga deket sama lo, 'kan? atau..." ia mengangkat alisnya sebelah, sengaja menggantung kalimatnya. "Sebagai saingan cinta, lo ngasih peringatan ke gue?"

Eka mengepalkan jari, balas menatap Vrilla tak suka. "Baik hati gue mengingatkan, lo malah salah mengartikannya."

"Menyalah artikan? Maksud lo apa ya? Kalo lo ga ngomong apa-apa juga, gue ga akan menyalah artikan seperti kata lo bilang. Jadi jaga ucapan lo ya!" kali ini Vrilla yang memperingati.

Eka menggepalkan jari menatap nyalang Vrilla yang tampak santai menanggapinya.

"Kalian sedang apa?"

***

Melompat untuk melakukan shoot dan berhasil dalam percobaan pertama. Damian tertawa seraya setengah berlari menuju teman setimnya. Saling memeluk, sesekali ia menyeka peluh yang membasahi sisi wajahnya.

Permainan kedua siap dimulai tetapi, Damian lebih dulu mendeteksi sinyal atas tatapan seseorang padanya. Ia menoleh dan dapati nya disana berdiri menggenggam tumpukan buku berbicara dengan teman sekelasnya, Rebecca.

Senyumnya terbit bersamaan bola basket di lengannya ia lempar asal lalu pergi meninggalkan lapangan. Beberapa murid memanggilnya, tapi tidak ada yang di hiraukan. Dan lagi siapa yang bisa memarahinya dan marah padanya?

"...lo ga pantes di sisi dia, deh." Langkah Damian memperlambat setelah mendengarnya.

"Aneh sekali ya, memangnya lo punya hak apa bicara kaya gitu ke gue?" Vrilla menjawab sinis. "Nasehat sebagai teman? tapi gue ga deket sama lo kan? atau..." ia memberi jeda. "Sebagai saingan cinta, lo ngasih peringatan ke gue?"

Damian hampir sampai. Lima langkah lagi dan sampai disamping mereka. Namun, tidak ada satupun dari mereka yang menyadari kehadirannya. "Baik hati gue mengingatkan, lo malah salah mengartikannya."

"Menyalah artikan? Maksud lo apa ya? Kalo lo ga ngomong apa-apa juga, gue ga akan menyalah artikan seperti kata lo bilang. Jadi jaga omongan lo ya!" Vrilla memperingati. Damian tidak mengerti apa yang sedang bicarakan. Namun ia jelas mengerti ada seseorang terlibat dalam percakapan mereka.

"Kalian sedang apa?" Damian berucap saat langkah mereka hanya berjarak dua langkah saja.

Atensi Vrilla dan Eka berganti. Eka tampak terkejut namun Vrilla terlihat amat santai. "La, gue gatau omongan gue salah dimananya, tapi gue merasa tersinggung loh."

Vrilla kembali menatap Eka. Apa maskud gadis itu? "Emang apa yang lo bilang ke Eka, La?"

"Gue sendiri bingung, ucapan gue dimananya buat dia 'tersinggung'. Kenapa ga dia aja yang bilang karena dia yang merasa seperti itu."

Eka gugup, tak mungkin ia mengatakan apa yang ia bilang pada Vrilla barusan. Bagaimana pandangan Damian nanti setelah ia mengatakan hal itu pada Vrilla? Vrilla menunggu namun Damian tampak tak peduli lagi. Ia meraih buku digenggaman tangan Vrilla.

"Sini gue bantu." Vrilla memberikannya secara cuma-cuma. Sebab, tangannya memang lumayan sakit.

"Eka, maafin Vrilla kalo dia salah. Dia emang suka kaya gitu." Vrilla menganga, Damian percaya pada Rebecca? Alisnya seketika bertaut kesal. Damian tidak jauh beda dengan Kemal jika seperti ini.

"Dan lo, La. Lain kali kalo ngomong pikir dulu."

Vrilla menatap malas lalu berbalik untuk pergi. "Eh, La, La." Damian memanggil namun Vrilla tak menggubris. "Eka gue pergi dulu yah, dah. Ketemu di kelas yah."

"I- iyah."

***

Keluar dari ruang guru wajah Vrilla semakin ditekuk-tekuk saja. Ekspresinya menjelaskan seberapa ia merasa kesal saat ini. Damian menatapnya lalu tersenyum hangat seperti biasanya. Ia mengusap puncak kepala Vrilla tapi kali ini Vrilla menepisnya. Jujur saja Damian terkejut.

Gadis itu mengambil langkah pergi. Dilangkah pertamanya ia kembali berhenti karena tarikan di lengannya. Refleks tubuh Vrilla berputar balas menatap Damian kembali. "Gue percaya sama lo, La. Gue tau lo ga akan nyinggung seseorang tanpa sebab. Lo pasti ngebela diri kalo itu memang terjadi."

Alis Vrilla kembali seperti semula. Jika seperti itu, kenapa Damian melakukan hal tadi, seakan-akan dirinya lah yang salah. "Jangan buat masalah sama orang lain, La. Biarin orang lain anggap lo kaya gimana juga, gue bakal tetep suka sama lo. Segimana lo adanya gue tetap mau lo yang ada di sisi gue."

Vrilla mengembungkan pipi. Sejujurnya, dia juga tidak punya alasan jelas untuk marah. Toh tidak ada untung dan ruginya bagi dia. Jangan salah, pengakuan suka Damian barusan meluluhkan hatinya.

"Bodo amat." Vrilla kembali mengambil langkah untuk pergi. Kali ini tidak ditahan, sebab Damian lebih sibuk menertawai sikap menggemaskan gadis netra coklat itu.

"La, gue suka sama lo!" teriak Damian tanpa rasa malu

Vrilla melotot mendengarnya. Apa Damain sudah gila? Di depan ruang guru, di koridor sekolah berteriak mengatakan hal memalukan tersebut. Vrilla menutup daun telinganya sembari setengah berlari untuk menjauh dari Damian.

"Dasar norak." Gerutunya pelan.

***

Aloha 👋
Kalo suka jangan lupa vote. Kritik dan saran  diperlukan. Terima kasih
.
.
.

Apology [Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang