Apology | 3

6.4K 447 11
                                    

Sepasang kaki yang dibalut sneakers keluar dari sebuah mobil. Kaki putih kurus itu melangkah bersama beberapa murid hilir mudik mengiringnya masuk kebagian terdalam area sekolah. Kakinya itu baru saja menjejak dipertengahan lapangan upacara yang membentang dan sekarang berakhir di koridor.

Ia mengenggam erat tali tasnya antusias. Wajahnya cantik bersih tapi tidak menandakan keramahan disana. Sorot mata tajamnya seakan menunjukan sisi yang berlawan dengan kata ramah, walau sebenarnya tatapan matanya memang seperti itu sejak lahir.

Seseorang berhasil menyamai langkah kakinya. Kaki itu beriringan melangkah dikoridor. Awalnya Vrilla bisa mengabaikan tapi sekarang tidak. Gadis pemilik surai bergelombang panjang itu menoleh dan dapati Damian yang memakai kupluk berwarna merah senada dengan warna jaketnya.

Lelaki itu mengapit skateboard diketiak. Jari-jemari di sembunyikan dalam saku celana. Tatapannya lurus kedepan dengan langkah yang santai. Sesekali Damian memperpendek langkah untuk menyamai langkah Vrilla yang dua kali dari langkah kakinya. Damian berfikir kaki itu pendek sekali. Tinggi Vrilla saja hanya sebatas bahunya. Gadis itu mungil jika bersanding dengannya.

"Gue gamau debat sama lo! Jangan ganggu gue, mood gue lagi hancur."

"Curhat, mbak?" balas Damian santai.

Vrilla mendelik sambil berdecak keras. Mood-nya kian hancur. "Kenapa mood lo hancur dipagi yang cerah ini?"

"Ada lo!" desis Vrilla menusuk.

"Gue berasa jadi pengganggu."

"Lo cukup sadar diri."

"Kasih apresiasi dong."

Vrilla menoleh dengan sorot jengkel. Ia menghentikan langkahnya bersamaan senyum Damian mengembang menghiasi wajah tampannya begitu cerah. Damian juga menghentikan langkahnya untuk balas tatap Vrilla. Iris mata mereka menumbuk namun suasana hati mereka bertolak belakang.

"Gue bakal ngomong sekali, jangan ganggu gue!"

"Rasanya lo udah dua kali ngomong kaya gitu ke gue pagi ini."

Vrilla bersedekap sambil memiringkan kepalanya. "Terus kenapa lo ga ngerti juga ucapan gue?"

"Gue emang ga ngerti maksud lo. Dari tadi gue cuman jalan biasa disebelah lo, jadi disebelah mananya gue ganggu lo?"

"Kehadiran lo mengganggu bagi gue!" kecamannya Vrilla menyakitkan. Kedua alisnya menukik tajam, menandakan kekesalan tak kentara.

Namun Damian menanggapinya dengan kekehan geli sambil mengangkat tangannya didepan dada tanda menyerah. "Ya udah sampe sinih dulu. Bye Vrilla."

Damian berbalik dengan kekehan diakhir kalimatnya. Ia bersenandung ria, sesekali membalas sapaan beberapa siswi. Vrilla masih disana, memandang punggung tegap itu kian mengecil. Kekesalannya memuncak. Kenapa tidak sedari tadi saja Damian pergi?

Bagaimana ada manusia seperti Damian didunia ini? Terlihat seperti malaikat namun sifatnya tertalu petakilan. Rasanya tidak perlu Tuhan menciptakan lelaki itu didunia ini. Kehadiran Damian harusnya dihapuskan.

Damian masih merasakan tatapan itu menusuk dipunggung. Senyumnya tidak bisa ia sembunyikan. Ia sangat senang berbicara dengan Vrilla bahkan rasanya sangat mendebarkan hanya untuk mencari kosa kata balas ucapan Vrilla. Sungguh, Damian mengakui kehebatan gadis dengan sejuta kata itu. Dia hebat dalam berdebat, tapi tidak cukup hebat menandinginya.

Di anak tangga ketiga, Damian menghentikan langkahnya. Ia penasaran apakah Vrilla masih menatapnya atau tidak? Ia berbalik dan dapati punggung yang tertutup geraian rambut itu kian mengecil lalu hilang begitu saja dibalik dinding sebagai penyekat. Ia terkekeh seorang diri lalu kembali melanjutkan langkahnya.

Apology [Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang