Apology | 9

3.2K 286 7
                                    

Pagi begitu cerah. Embun masih singgah didahan. Angin masih menjadi jahat. Seperti biasanya saat pagi hari ia masuk sekolah, menelusuri koridor seorang diri lalu muncul seseorang datang tanpa suara. Berjalan bersisian disamping Vrilla seakan unsur ketidak sengajaan.

"Pagi, La." sapanya ceria. Senyumnya mengembang, menebarkan pesona seperti biasanya.

Hanya karena Vrilla mendapatkan sapaan pagi dan juga senyum khusus dari Damian, jantungnya berdebar tak sempurna lebih cepat. Semburat warna merah di pipinya tanpa sadar bermunculan. "Ke- kenapa lo nye- nyengir-nyengir kaya PK."

Damian terkekeh mendengarnya, juga menggelengkan kepala mendengar hinaan Vrilla yang terdengar sadis menyinggung. "Cuman mau jadi orang pertama aja ngucapin pagi ke elo. Gue ga telat, 'kan?"

Kini giliran Vrilla yang terkekeh, "Lo telat banget. Sekarang mungkin udah jadi yang kesekian."

"Yaaahhh." Lelaki itu berucap kecewa. Vrilla malah lucu mendengar nada sedihnya. Ekspresi Damian selalu berubah cepat seperti membalikan lembaran buku. Itulah salah satu alasan ia suka di samping Damian. "Tapi gapapa, semoga gue jadi yang ucapan paling terakhir. Sama seperti gue bakal jadi yang terakhir buat lo."

Serangan dadakan!

Belum sempat Vrilla mengendalikan degupan jantungnya, membenahkan hati akan serangan tadi. Sekarang ia sudah di serang lagi. Jangan pertanyakan debaran jantung Vrilla seperti apa! Yang jelas, pulang sekolah ia harus ke rumah sakit demi menanyakan kesehatan jantungnya.

Vrilla bersikap angkuh hanya karena tidak ingin di pandang lemah. Tapi sejujurnya, Vrilla itu memiliki hati yang rapuh, lemah dan bawa perasaan.

Vrilla menusuk-nusuk indera pendengarannya. "Gue rasa, gue budek sesaat. Jadi tadi lo ngomong apa?"

Damian malah menggelengkan kepala sambil mengusap puncak kepala Vrilla. "Gue tadi bilang, kita belum kenalan secara formal."

Hah?

Mereka berhenti melangkah ditengah-tengah hilir mudik para murid menuju kelas. Lengan Damian terulur, Vrilla menatapnya. Ia langsung menerawang jauh pada perkenalan mereka saat pertama kali. Jika diingat seperti ini, rasanya sangat lucu dan memalukan untuk Vrilla.

"Bolehkan kita berteman?"

Vrilla tersenyum membalas jaba tangan Damian. "Tentu aja, kita bisa berteman."

"Gue seneng bisa temenan sama lo, La. Sekarang kita temenan ya dan suatu saat nanti gue pastiin. Gue bakal jadi orang yang ngebahagiain elo"

***

"Diketahui A= 2 5 -1, dan b= -1 4 5. Ordo matriks AB adalah? Siapa yang bisa menjawabnya?" Guru mata pelajaran matematika, Rohaeti bertanya. Kelas Vrilla tengah kebagian membahas tentang matriks.

Meski begitu, Vrilla sendiri hanya memandang hampa pada lengan Yuvi di sampingnya. Ia sedang membaringkan kepalanya di atas lengan yang terlipat di atas meja. Pikirannya melayang jauh pada Damian. Selalu Damian dan sepertinya tidak akan berubah karena Damian ada di sekelilingnya. Ia sudah di hipnotis oleh lelaki itu.

Seseorang maju ke depan memenuhi perintah. Dhinda menjawab soal tersebut dengan bantuan Rohaeti hingga benar. Vrilla masih saja melamun memikirkan perkataan Damian tadi pagi. Apakah lelaki itu serius? Atau sedang mencoba bermain-main dengannya? Lalu kenapa Damian bisa mengganggu pikirannya?

Dering bel istirahat menggema. Pertanda baik untuk para murid menghentikan percakapan gila dari guru yang mengajar. Rohaeti keluar dengan memberikan tugas sebelumnya. Gila! Sudah panjang lebar menjelaskan masih saja meminta para murid mengerjakan tugas semaunya.

"Vrilla, bantu ibu kembalikan buku paket keperpustakaan."

Vrilla yang kesadaraannya sudah terkumpul sejak indera pendengarnya menangkap gelombang suara bel langsung menjawab. Barulah Rohaeti benar-benar keluar dengan beberapa buku di dekapannya. Ia segera membereskan buku pelajarannya di atas meja.

"La, mau dibantuin ga?" tawar Yuvi dari bangkunya. Sedikit berteriak takutnya Vrilla tidak mendengar.

Vrilla menoleh. Ia sudah keluar dari area bangkunya untuk mengambil buku pelajaran dimeja guru. "Ga usah, lo langsung kekantin aja. Nanti malah ga ke bagian tempat lagi."

"Yakin lo bisa sendiri?" Yuvi meyakinkan. Kalis aja Vrilla jual mahal seperti biasanya.

"Emang lo mikir gue ga bisa karena apa?" jawab Vrilla malas.

Yuvi menggelengkan kepala. "Cape gue ngomong sama lo, pasti aja nanya dibales pertanyaan."

Vrilla terkekeh didepan kelas sambil membereskan buku paket tersebut. "Makanya jangan nanya-nanya ke gue."

Yuvi merapatkan bibirnya lalu jarinya menarik garis lurus di depan bibir seperti mengunci mulut itu agar tidak lagi bicara. Vrilla hanya terkekeh lalu mulai mengangkat buku. "Cepet ke kantin, kalo ga kebagian tempat. Itu salah lo!" sinis Vrilla lalu pergi melenggang pergi dari kelas.

Yuvi menghela nafas sambil menggelengkan kepala. Untung dia orangnya sabar menghadapi iblis seperti Vrilla.

Tak lama kemudian. "VRIL- la." Damian yang tadinya antusias langsung berubah kecewa karena tidak bisa menemukan wujud Vrilla disana. Sehelai rambut pun tidak terlihat. Padahal secepat mungkin setelah bel istirahat ia langsung keluar dan lagi lebih dulu ia yang keluar dari pada gurunya.

Damian menatap Yuvi yang terkekeh geli. Sangat berat hati, dia menghampiri gadis itu. "Maaf buat lo kecewa." ujar Yuvi seraya membereska bukunya.

"Em, dimana Vrilla?"

"Panggil bp soalnya dia pacaran mulu sama lo."

Damian melotot seketika, "gumana bisa dia dipanggil gue ga?!" ia terlihat panik.

"Ya elah Damian, Vrilla cuman keperpus ngembaliin buku paket. Gue bercanda, panikan lo!"

Damian menatap malas karena ditipu. Lagian salah Damian sendiri percaya begitu saja. "Terus kenapa lo ga bareng dia?"

"Vrilla nyuruh gue bocking tempat di kantin. Biar ga penuh."

Damian beroh ria. "Ga usah khawatir temen gue udah booking duluan. Mesen meja di kantin dari kemarin."

"Hah? Emang bisa ya?"

Damian terkekeh, "gatau gue juga. Ya udah hayu kesana sambil nunggu si Vrilla."

"Boleh, bentar." Yuvia menutup resleting tasnya lalu bangkit. "Eh Damian, lo tau nama gue ga?"

Damian memiringkan kepala mengingat, "Yuvi, 'kan?" Ia ragu dengan jawabannya sendiri.

Yuvi tersenyum puas, "iyah, ya udah hayu." Setidaknya ia diingat oleh siswa manly disekolah ini. Ia harus berterima kasih pada Vrilla karena berkatnya, hidup Yuvi dipenuhi keberuntugan. Ya memiliki teman setampan Damian adalah keberuntungan.

***

Jangan lupa vote jika suka. Kritik dan saran diperlukan. Terima kasih 👋
.
.
.

Apology [Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang