Apology | 17

2.5K 239 4
                                    

"Siapa yang dimaksud papah tadi, kak?"

Ginan menatap Vrilla dengan sendu. Terdapat luka yang ia sembunyikan tampak jelas dari sorot matanya. "Gue pernah bilang kan sama lo, kalo gue nunggu seseorang."

Vrilla menganggukan kepala, "dia yang dimaksud papah."

Vrilla menopang dagunya dengan lengan di atas ranjang sang kakak semata wayangnya,"kenapa papah bilang dia cewe haram?"

"Dia ga haram, La." lirih Ginan, ucapannya kian mengandung luka.

"Iyah, jadi siapa dia?"

Ginan tersenyum lembut, ia mengacak-acak surai lembut Vrilla. "Orang yang gue cintai tapi ga akan pernah bisa gue gapai."

Vrilla menghela nafas panjang. Setiap mengingat wajah sang kakak yang bersedih, ia jadi ikutan sedih. Selama menjejakkan kaki di tanah air lagi, Vrilla hidup hanya berdua bersama Ginan. Kedua orang tuanya selalu pergi bulak-balik keluar negeri demi sebuah pekerjaan.

Vrilla sangat kekurangan kasih sayang kedua orang tuanya. Hanya Ginan yang tiap hari dia lihat di rumahnya. Tempat mengadunya pun bukan kedua orang tuanya lagi tapi, sang kakak. Kemarin saat ia melihat kedua orang tuanya ada di rumah, ia pikir akan berkumpul bersama. Namun, harapan malah sirna.

Kedua orang tuanya datang seakan membawa kabar buruk. Vrilla untuk pertama kalinya di bentak dan pertama kali lihat Ginan membentak sang ayah. Kemarin ia merasa  bukan hari beruntungnya. Mengingat, Vrilla sempat hampir buat janjinya batal dan sekarang Kemal marah padanya. Ternyata kemarin Kemal datang ke perpustakaan dan melihatnya bersama Damian. Ini buruk, sangat buruk.

Cess...

Vrilla mendongak saat merasakan dingin menyengat lengannya. Di sana, di sampingnya Damian tersenyum sambil menyerahkan minuman kaleng dingin. "Ini buat lo." ujarnya ramah.

Vrilla mengambilnya, bersamaan Damian duduk di bangku tempat Yuvi seharusnya duduk. Kemana teman sebangkunya itu? Damian melirik saat ia sedang meneguk minuman kalengnya. "Lo kenapa, La? Muka lo kusut banget."

"Muka lo ceria banget, kayanya lo bisa ngerjain ujian fisikanya." Vrilla membalikan fakta.

Damian langsung semringah, "iyah, soal yang lo minta kerjain kemarin ada semua di ujian. Jadi gue sedikit mudah ngerjainnya."

Vrilla menyimpan minuman kalengnya. "Sedikit? Usaha gue cuman memudahkan lo sedikit?"

Damian tertawa renyah seraya mengacak-acak surai Vrilla lembut. "Coba kalo lo sebelum gue ujian semangatin dulu. Pasti gue 100% lancar ngerjainnya."

Vrilla mendelik, "semangat ngerjain ulangannya." ujarnya malas. Padahal ulangannya telah berlalu.

Damian terkekeh, "jadi itu, tadi ujiannya mudah banget. Makasih ya udah bantuin gue belajar." Damian langsung meralat ucapan awalnya.

Vrilla tersenyum manis tidak jelas, "sama-sama."

"Jadi kenapa lo?"

Vrilla mengalihkan mata. "Apa maksud lo?"

"Muka lo kusut gitu kenapa?" tuntut lelaki itu.

Vrilla memutar-mutar kaleng minumannya. "Gapapa, cuman masalah keluarga aja."

Damian tidak langsung menjawab. Ia bisa menangkap suara lemah barusan. Lengannya terjulur mengusap lembut puncak kepala Vrilla lalu mencubit pipinya pelan, tapi sukses buat Vrilla meringis. "Gue gamau ikut campur, cuman kalo lo butuh apa-apa bilang aja. Mungkin gue bisa bantu. Jangan buat masalah keluarga lo jadi alasan lo ga senyum hari ini. Karena gue gamau denger itu."

Vrilla menaikan alisnya sebelah dan tersenyum sinis. "Apa urusan lo?"

"Gue emang bukan siapa-siapa lo, keluarga atau pacar. Hanya teman seperti bumbu pecin dalam masakan, penyedap aja. Tapi, ga ada teman yang biarin temannya sedih. Semua mau temannya selalu baik-baik saja." Damian menggenggam ujung rambut Vrilla lalu mencium aromanya. "Lo ngerti maksud gue?"

"Bilang aja lo ga mau gue sedih. Itu lebih simpel."

"Gue gamau semaunya terlihat simple. Karena di didunia ini ga ada yang instan, butuh proses. Termasuk..." Damian memelintir rambut Vrilla dengan jari. Sengaja menggantung kalimatnya. "...termasuk dapetin lo. Butuh proses panjang."

Vrilla berhenti bernapas. Perlahan semburat merah di pipinya bermunculan. Jantungnya berdegup kencang, membuncah mengaliri sengatan listrik keseluruh tubuh. Lagi-lagi kesehatan jantungnya di pertaruhkan.

Damian meraih lengan Vrilla yang sedang memegangi kaleng minuman. "Kalo lo mau tau, sedetik pun kalo sama lo itu berharga."

Itu menggelikan. Vrilla menarik tangannya lalu mendorong Damian. "Ga usah dramatis, pakar cinta!"

Damian terkekeh lalu meraih kaleng minuman Vrilla dan meminumannya. Vrilla menganga. Itu minumannya, Damian tidak lupa letak posisi kaleng minumannya, 'kan?

"Da- Damian itu minuman gue."

Damian mengacungkan kalengnya seakan mencari sesuatu lalu menyimpannya. "Lo salah." Damian mengusap ujung bibir Vrilla lembut. "Apa yang menjadi milik lo akan jadi milik gue, La."

Vrilla terpengarah, beberapa detik setelahnya ia mengerinyit. Damian terkesiap karena ekspresi Vrilla berubah lebih cepat dari pada membalikan halaman buku. Vrilla meniup wajah Damian hingga lelaki itu menarik kepalanya menjauh. "Ga usah so romantis, pakar cinta!"

Damian menghela napas dengan senyum menghiasi wajahnya. Vrilla masih saja susah untuk di taklukan.

Dunia seperti milik mereka berdua. Mereka tidak sadar semua teman sekelas Vrilla memerhatikan mereka. Ada yang iri pada Vrilla dan ada yang juga benci pada Vrilla. Di perlakukan romantis oleh seorang Damian, malah di sia-siakan oleh Vrilla. Semua penonton merasa gemas melihat mereka.

Bukan karena Vrilla saja, tapi dengan Damian juga. Mereka merasa gemas pada Damian. Dari ratusan siswi jomblo SMA Provita kenapa harus memilih Vrilla yang memiliki pacar. Kenapa? Tidak adakah kesempatan untuk para jomblo SMA Provita?

***

Jangan lupa vote jika suka. Penulis ini yang sedang belajar pengejaan aiueo. Kritik dan saran diperlukan. Terima kasih 👋
.
.
.

Apology [Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang