Apology | 29

1.8K 188 2
                                    

Lelaki yang memakai kaos hijau army dengan topi hitam itu tidak berhenti tertawa. Perutnya terasa sakit dan rasanya mual. Beberapa orang penikmat jalan kaki juga sedari tadi memandang kearah mereka.

Berikanlah apresiasi pada Damian yang membuat keadaan menjadi menyebalkan dan Vrilla sekarang terlihat menyedihkan.

Dari sekian banyak genre film di bioskop. Damian memilih genre horor. Bertepatan film itu sedang dalam ranting tertinggi, Damian jadi tidak segan-segan menentukan. Dan lebih bodohnya Vrilla tidak menolak walau sebenarnya ia takut.

"Kenapa ga bilang coba kalo lo takut?" Damian masih mengakhiri kalimatnya dengan suara tawa yang renyah.

Vrilla mengembungkan pipi jengkel. "Gue ga takut cuman ga berani!!" ia tekankan.

Damian malah semakin terbahak mendengarnya. "Tau ga sih? Bukan filmnya yang serem, tapi elo yang serem." ia masih terbahak.

Vrilla semakin terlihat menyedihkan. Pipinya merah dan alisnya menukik tajam. Ia sangat kesal dan malu. Pilihan mengikuti Damian nonton bioskop ternyata buruk, sangat buruk.

Damian sendiri masih terpingkal-pingkal. Ia memegangi perutnya yang sakit dan mual karena tertawa berlebihan. Pikirannya terus menerawang pada Vrilla yang tidak bisa duduk dengan tenang, mengoceh terus, menarik-narik bajunya dan yang buat tawanya tak berhenti adalah Vrilla sampai turun dari kursi, jongkok disamping kakinya dengan menutup telinga. Terlihat menggelikan tapi begitu lucu dimata Damian.

"Gue mau pulang." putus gadis itu.

Damian secara otomatis berhenti tertawa lalu mengejar Vrilla. "Hey, hey. Marah? Jangan marah dong."

Vrilla tak berkutik sama sekali. Pandangannya terus teralih pada jalanan dan makhluk-makhluk hilir mudik disekitarnya,  Damian tidak berkutik. "Bercanda doang, abis lo lucu."

Vrilla melirik Damian tajam. "Bercanda yah? Lelucon yang gue buat lucu?" sinis gadis itu.

Damian tiba-tiba merasa bersalah. Ia menarik lengan Vrilla. "Maaf, La." ucapnya saat iris mata mereka menumbuk. Vrilla masih bungkam seribu kata. Yang bisa Damian temukan adalah tatapan mata Vrilla menjelaskan semuanya.

"Pacar gue itu emang lucu. Lucu bukan dalam arti meremehkan tapi lucu... lucu mengagumi. Lo itu lucu banget karena itu gue suka sama lo, ga pernah bosen sedikit pun." Apalah kata yang ada di pikir Damian. Ia tidak bisa berfikir sekarang saking paniknya.

"Tapi ketawa lo tadi, tidak menjelaskan apa yang lo ucapin." Vrilla berbalik untuk pergi.

"Vrilla!!" Damian memanggil namun tak digubris.

Sebenarnya Vrilla sudah tidak kesal lagi karena kupingnya tiba-tiba menemukan kata gue suka sama lo, ga pernah bosen sedikit pun. Intinya saja yang ia dengar. Selebihnya ia tidak peduli.

Dari kata receh yang sering di katakan orang rendahan di luar sanah, justru begitu berpengaruh baginya jika Damian yang menyuarakannya.

"Vrillaaaa." Damian membujuk. Bagi Vrilla keputus asaan Damian begitu manis saat Damian manis dimatanya.

"Ga main."

Damian tiba-tiba menemukan sinyal. Ia melangkah lebar-lebar demi menyejajarkan langkah mereka. Senyum Damian terbit saat Vrilla menatapnya. Menyebalkannya, Vrilla terlalu mudah memaafkan lelaki itu. "Tapi kan kita lagi main. Lebih tepatnya lagi kencan."

Pipi Vrilla merona, tidak bisa disangkal. Istilah-istilah kecil seperti itu membuatnya begitu malu dan berdebar. Dari pada menjawab, Vrilla lebih memilih bungkam. Tidak akan menjelaskan apa pun tentang perasaannya. Jika dia berkata, Damian jelas akan mengambil sebuah kata rancu dari kalimatnya dan kembali menertawainya.

Entah tujuan mereka kemana. Tidak memiliki tujuan makanya terus melangkah tak beraturan. Vrilla mengembungkan pipi mulai kembali kesal. Ia tidak mau menatap Damian. Titik. Itu pemikirannya sebelum ia mendengar dan melihat.

"Wah ganteng banget. Itu pacarnya yah? Enak banget yah punya pacar seganteng itu."

"Ssssttt nanti denger."

"Tapi kayanya bukan pacarnya, badannya kecil banget. Paling adiknya."

Vrilla mengertakan gigi saat mata mereka saling menumbuk. Desas-desus mereka terlalu mencolok di telinganya hingga memanaskan dirinya. Kedua remaja lebih tua darinya itu langsung mengalihkan mata namun masih melanjutkan acara bergosip ria.

Vrilla menoleh pada Damian yang sedang meneliti setiap toko yang mereka lewati. Entah dari mana pikiran dan keberanian Vrilla muncul untuk menggenggam lengan Damian begitu erat. Damian saja terkejut saat lengannya digenggam. Sang kekasih malah lempeng, pura-pura tidak memasang wajah berdosa dengan mengalihkan pandangan pada apa saja.

Dengan menggenggam lengan Damian sudah menyatakan bahwa ia milik Vrilla. Sudah hak paten, tidak bisa ganggu gugat.

Senyum Damian terbit mencerahkan. Ia membalas genggaman lengan Vrilla lalu mendekat demi menempelkan lengan mereka. "Ga usah deket-deket." ketus gadis itu. Matanya masih saja tidak mau menatap Damian jika malu.

"Nanti kalo gue deket-deket cewe lain, lo cemburu lagi."

Vrilla berdecih, "ya udah jangan kemana-mana. Gue ga masalah kalo lo mau deket sama gue."

Manisnya.

Damian langsung terkekeh sembari menggenggam semakin erat lengan Vrilla. Untuk pertama kalinya mereka bergandengan tangan. Pengalaman pertama mereka melakukannya, tidak buruk juga untuk di ceritakan suatu hari nanti.

***

Aloha~
Jangan lupa vote yah kalo suka💌

Apology [Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang