Hachiii...
Tubuhnya terbaring lemah di atas ranjang rumah sakit. Wajahnya pucat, hidungnya memerah. Lengannya tersambung selang menuju cairan NaCl. Gadis pemilik iris coklat terang itu jatuh sakit. Ia menderita demam parah dan dehidrasi karena radang lambung. Istirahat yang cukup dan menjaga pola makan sangat dianjurkan dokter setelah infusannya dilepas.
Sibungsu Douffa memandang luar jendela tak berniat mengubah atensi pada wajah kedua orang tuanya. Robert dan Jeny terus mengajak bicara, melempari pertanyaan receh sekadar basa-basi. Namun tidak satu pun pertanyaan mereka mendapat jawaban.
Vrilla menulikan telinga, membisukan mulut, ia mogok bicara. Ia benci sikap kedua orang tuanya. Gara-gara sikap kedua orang tuanya, Kyara tidak mendapat keadilan.
Di luar ruangan rawat Vrilla. Beratapkan langit malam yang gelap. Lelaki itu duduk mengadahkan pandangan. Menatap langit hampa. Wajahnya pucat pasi dan hidungnya masih memerah. Rambutnya setengah basah dan tampak tidak beraturan. Di sini bukan hanya Vrilla yang kurang sehat. Ginan memaksaan diri bangun setelah tau adiknya belum pulang.
Ginan mengusap wajahnya frustasi. Ia menutupi setengah wajahnya dengan lengan. Hatinya terlalu sakit. Jiwanya mulai terguncang. Akal sehatnya tersesat. Ia menggumam pedih berharap semua ini cepat berakhir.
"Kyara."
***
Helaan napas panjang terdengar berat. Yuvi menguap lalu membaringkan kepalanya di atas meja kantin. Pikirannya menerawang pada Vrilla. Sudah 2 hari teman sebangkunya tidak datang ke sekolah. Pihak keluarga telah mengonfirmasi jika Vrilla kurang sehat dan tidak bisa mengikuti pelajaran segimana mestinya.
"Kangen Vrilla." Yuvia bergumam. Gadis yang mengikat dua rambutnya itu sudah seperti mayat hidup.
"Kita belum nengok, Damian juga belum. Gimana pulang sekolah kita kesanah?" usul Reno.
Yuvi angkat kepala. "Hayu!" pekiknya. Ia orang yang paling antusias di sini.
"Gue emang rencananya nengok hari ini." Akhirnya sang tokoh utama membeo. Damian baru saja terjun ke dalam topik kekasihnya.
"Gue ikut!" seru gadis ikat dua itu. Wajah Yuvi penuh harap bisa di ajak pergi.
"Gue juga pasti ikutlah. Udah jadi kawan." Reno menganggukan kepala.
Damian menggelengkan kepala, "Gue mau nengok bukan mau pesta. Dia perlu istirahat loh." Ia mengingatkan, berbicara demikian mengingat sifat mereka, tukang rusuh.
"Janji ga bikin ribut." Yuvi menunjukkan peace andalannya.
"Gue juga, ga akan mancing-mancing emosi si Vrilla."
Damian memandang biji mata penuh binar itu. Kedua temannya itu memang belum tau masalah keluarganya dan Vrilla. Terlalu rumit dan sulit dicerna. Sebab, tidak cukup sehari untuk menceritakan detailnya. Biarlah masalahnya menjadi miliknya. Tak perlu pihak luar tau. Mereka hanya perlu tau jika Damian dan Vrilla baik-baik saja.
***
Saat hujan mengguyur tubuhnya, pikiran Vrilla tidak berjalan dengan baik. Seiring berjalannya waktu, kondisinya membaik juga pikirannya. Ia merasa konyol menyiksa dirinya sendiri tempo hari. Tidak ada gunanya. Tidak ada yang berubah.
Vrilla benci pada orang-orang yang tidak bisa menggunakan pemberian Tuhan dengan baik. Sekarang ia lebih rendah dari orang-orang yang ia benci. Dia terlalu naif juga munafik. Ia benci pada dirinya sendiri. Bukan berpikir untuk menemukan jalan keluar, malah menyiksa diri.
"VRILLA!!" suara melengking bak knalpot bajaj, mengintrupsi atensinya untuk pindah. Tubuhnya langsung ditabrak dan dipeluk Yuvi erat. Mereka seperti tidak bertemu bertahun-tahun lamanya.
Yuvi meringis saat kuncir rambutnya ditarik. Ditemukannya Damian berkaca pinggang dengan alis menukik tajam. "Janji ga ribut, 'kan?"
Yuvi menyeka sudut mata yang tak berair. "Iya maaf."
Vrilla menaikan satu alisnya lalu menyentil lengan Damian. "Jangan kasar sama temen gue." sarkasnya tidak terima.
Yuvi menarik lengan Vrilla meminta perlindungan setelah mendapat pembelaan gadis pemilik netra coklat terang itu. Ia menjulurkan lidah meledek Damian yang malah tersenyum.
Damian duduk di sisi ranjang lalu mengusap surai Vrilla lembut. Ditatap kekasihnya penuh perhatian. Ia sedikit lega Vrilla tidak menunjukan sosok dirinya yang tertekan. Malah sekarang terlihat jauh lebih baik. Seketika kekhawatirannya meluap ke udara.
"Gimana keadaan lo?" Reno berucap, memutus aksi romansa penuh rindu itu. Rupanya Reno masih sirik saja dengan perilaku kedua sahabatnya.
"Udah lumayan sehat." jawab Vrilla tenang sembari mengusap tengkupnya canggung.
"Gue awalnya kaget waktu tau lo sakit."
"Kenapa perlu kaget segala?" Vrilla bingung.
"Ternyata elo bisa sakit juga ya?"
Vrilla langsung melotot galak siap menerkam, termasuk Damian di sampingnya. Damian berubah ganas saat kekasihnya sedang kurang sehat. "Janji lo mana?!" Damian tidak sabaran.
Reno terkekeh seraya mengangkat tangan menyerah. "Sorry, bercanda."
"Ohiya, La, ini gue bawain susu buat lo. Diminum biar tinggi." Yuvi mengambil alih percakapan setelah kekehannya usai.
Vrilla menatap malas. Malas dengan niat baik sahabatnya itu terselip kata sindirian. "Sebel, deh. Tapi makasih. Gue udah seneng kalian datang, harusnya ga perlu bawa-bawa segala."
"Emang ribet si Yuvi." sinis Reno.
"Lah kenapa lo yang sewot? Kata nyokap gue, kalo tengok orang sakit harus bawa sesuatu. Apresiasi biar Vrilla cepet sembuh." Yuvi berucap ngawur.
"Ngawur loh!"
"Ga, bener!"
"Ga bener? Memang."
Mereka malah beradu argumen di depan orang sakit. Gimana kalo Vrilla malah pusing dan sakit lagi?
Disamping itu, senyum Vrilla mulai menipis. Terlihat baik di luar, tidak di dalam. Gadis pemilik netra coklat terang itu masih terasa sulit menerima keadaannya sekarang. Ia menoleh dan dapati Damian yang ternyata memandanginya juga. Mereka berdua sama-sama menulikan telinga atas debat Reno dan Yuvi.
Ditatapnya Vrilla pernuh perhatian. Lengannya terjulur. Ia menggenggam erat lengan Vrilla. "Jangan sedih atau bingung. Gue ada buat nemenin elo. Kita bakal pikiran sama-sama jalan keluarnya."
Tatapan Damian terlalu meneduhkan hingga buat perasaan Vrilla menenang. Vrilla lupa dengan siapa ia berpacaran. Damian Savero, dia tidak akan membiarkan Vrilla kesulitan. Selalu menggenggam lengannya supaya tetap berdiri kokoh. Damian adalah kekuatan baginya.
Damian memiringkan kepala. Vrilla langsung tersadar dari apa yang ia pikiran. "Denger ga?"
"Gue dikasih telinga sama Tuhan, jadi gue denger." sinisnya.
"Ngerti?" lanjut Damian dengan menahan senyum.
"Gue punya otak!" ketus gadis itu.
"Bagus, anak pintar." Damian memberi jeda. "Pintar mencuri hatiku." Ia menarik Vrilla lalu memeluknya. Membiarkan tubuh itu bersandar pada dadanya.
Rasanya sangat nyaman. Terkurung di dalam pelukan Damian membuat Vrilla merasa aman dan hangat. Ia memejamkan mata, menyamankan diri di dalam dekapan sang kekasih. "Makasih ya, sayang."
Damian secara otomatis menarik diri. Alih-alih ia salah mendengar gadisnya berucap hal manis. "Apa tadi?"
Pipi Vrilla merona. Senyumnya terbit bersama suasana hatinya yang kian membaik. "Makasih sayang."
"Ciieee..."
Astaga! Vrilla lupa jika ada Reno dan Yuvi.
***
Sesi curhat...
Maaf ini kurang maksimal, nulisnya juga seharian nyelesaiinnya. Dihapus terus karena ga dapet feel untuk readers
.
.
.
KAMU SEDANG MEMBACA
Apology [Completed]
De TodoSebelum baca follow dulu ya? Part masih lengkap^^ °°°°°°° Pristinia Vrilla Douffa, siswi pindahan yang cuek, ketus dan egois. Memiliki tingkat kegengsian terlalu tinggi atas perasaannya. Damian Savero, lelaki kelahiran shio naga ini pintar bermain b...