Pintu menyerupi jeruji besi ia buka menimbulkan derit nyaring mengilukan. Damian melangkah masuk kedalam lorong buntu tempat loker ekstrakulikuler basket berada. Ia berminat menyimpan beberapa buku paket pinjaman dilokernya.
Tapi saat loker miliknya dibuka. Kumpulan amplop rapih menerjangnya, belum lagi bau parfum memabukkan, pusing. Menatap ubin putih berhamburan beberapa amplop mengotori dan lokernya yang nahas menjadi tempat sampah atas kertas yang berserakan dan bau tak sedap.
"Apa ga ada pikiran lain selain pacaran diotak mereka?" Damian menggumam pelan. Meski telah beredar kabar tentangnya telah memiliki pacar, tidak menyulutkan semangat para kaum hawa mendapatkan hatinya.
Damian menatap jera, ia memungut surat-surat entah milik siapa, Damian tidak peduli. Bahkan tidak pernah peduli tapi ia menghargai perasaan mereka. Damian memberikan apresiasi atas kegigihan mereka.
Lengan seseorang terjulur memberikan sebuah amplop yang sedang Damian rapihkan. Damian mendongak dan dapati Rebecca menatapnya dengan senyum ramah. Ia membantu membereskan amplop yang berantakan lalu mereka beringsut bangun untuk saling berhadapan.
"Makasih yah, Eka." Ungkap Damian tertolong. Ia menutup daun pintu loker setelah memasukan semua surat tadi. Pandangan jatuh kembali pada Rebecca.
"Iyah sama-sama." Rebecca yang sedang mendekap sebuah misting tersenyum saat pandangan mata mereka menumbuk. "Oh iyah, Damian. Ini buat lo." Eka menyodorkan misting yang sedari tadi ia dekap.
"Apa ini?" Damian belum menerimanya. Ia hanya menunjuk misting digenggaman tangan Eca yang terjulur.
"Buat isi perut lo aja, pasti laper, 'kan?"
Damian memandang Rebecca dalam. Bukan sebuah rahasia lagi Eka mengejarnya. Damian cukup tau perasaan Rebecca selama ini. Ia tidak pura-pura bodoh atau menjadi tidak peka. Nyatanya, ia tidak bisa menerima Eka karena tidak menyimpan perasaan apapun. Mungkin inilah saatnya mengatakan hal sesungguhnya.
"Maaf, Ka. Gue ga bisa. Gue pergi dulu yah." Damian berbalik untuk pergi.
"Gue udah habisin waktu untuk buat ini untuk lo." desis Eka lirih mengandung arti memaksa di indera pendengeran Damian.
Damian berhenti melangkah di langkah pertamanya. Ia kembali berbalik demi menemukan kedua manik mata Rebecca. Berbinar penuh harap. Sayangnya, harapan itu semu. "Maaf, Ka. Gue ga bisa ngasih harapan ke elo. Lo juga harusnya tau kalo gue udah punya Vrilla."
"Kenapa? Kenapa lo ga bisa nerima gue, bahkan sebelum lo jadian sama Vrilla." Damian menatap serius Rebecca yang menunduk dalam. "Latar belakang keluarga gue bagus, kaya raya, wajah gue mulus, body gue oke. Gue malah lebih baik dari Vrilla yang cuek dan kasar. Apa yang kurang dari gue?" Ia balas menatap Damian penuh. Bola matanya sudah berembun.
Ada banyak hal yang ingin Damian koreksi dari setiap kata Rebecca. Tidak hanya dirinya yang bersikap sombong, tapi juga ucapannya yang merendahkan sang kekasih. Percayalah, tidak satu orang pun ada yang suka atas hinaan pada kesukaannya.
Damian menatap lurus, ia tampak serius menanggapi. Banyak yang ingin di katakan tapi tidak memberikan harapan adalah tujuannya. Dia bisa jadi yang diinginkan, jika dia mau. Termasuk mengabaikan perasaan Rebecca dan mengucilkan dirinya. "Karena lo bukan dia. Yang gue suka adalah Vrilla. Sekian."
Singkat namun menyakitkan bagi Rebecca. Ah, kenapa hati Rebecca mendadak sakit begini? Rasanya begitu sesak seperti diremas dari dalam atau mungkin ditusuk. Yang pasti air matanya sudah terjatuh.
Damian menghela nafas panjang mendengar isak tangis Rebecca. Kebencian dirinya adalah saat mendengar isak tangis seorang wanita, tapi dia lagi-lagi penyebab seseorang menangis. Kadang ia benci pada dirinya sendiri.
KAMU SEDANG MEMBACA
Apology [Completed]
RandomSebelum baca follow dulu ya? Part masih lengkap^^ °°°°°°° Pristinia Vrilla Douffa, siswi pindahan yang cuek, ketus dan egois. Memiliki tingkat kegengsian terlalu tinggi atas perasaannya. Damian Savero, lelaki kelahiran shio naga ini pintar bermain b...