Apology | 23

2.2K 211 3
                                    

Kyara Alya Letta
.
.
.


Langit berubah jingga, lain halnya di ufuk barat sudah terlihat menggelap. Angin berhembus kencang. Sepasang kaki melangkah naik mengikuti arah jembatan yang melengkung. Langkahnya lunglai bersama kepalanya terasa pening.

Vrilla memijat-mijat kepalanya yang berdenyut. Sejak tadi ia terfikirkan ucapan Rebecca di koridor tentang Damian. Sepanjang perjalan ia melangkah pun menggemakan nama Damian di setiap langkahnya. Apa dia sudah mulai menyukai Damian?

Jantungnya berdegup kencang. Membuncah mengaliri sengatan demi setiap sengatan keseluruh tubuh. Ia merasa nyaman juga rindu akan sesansi itu. Walau jantungnya berdegup kencang sekarang, namun sensasinya berbeda jika Damian sendiri yang menghadirkannya.

Langkahnya berhenti saat indera penglihatanya dapati seseorang yang ia kenal. Pandangan mereka bertukar. Melakukan telepati tanpa tau siapa yang memulai bicara lebih dulu.

---

Vrilla melipat lengan di atas pagar jembatan bersama Kyara di sampingnya menatap hilir mudik kendaraan pengguna jalan tol. Vrilla melirik Kyara sejenak untuk melihat ekspresinya.  Mereka hanya berdiam diri menikmati semilir angin menyejukkan.

Kyara menoleh balas menatap Vrilla yang meliriknya. "Ada apa?"

Vrilla menggelengkan kepala. "Ga ada apa-apa."

"Oh."

Hening kembali. Keduanya tampak bergelut dengan pikiran masing-masing. Mengutuk diri sendiri untuk membiarkan seseorang di sampingnya berucap lebih dulu. Nyatanya, menunggu mereka berumur pun tidak akan ada yang berbicara jika tidak ada yang mengalah.

Kyara menghela nafas panjang, berperan ganda memecah keheningan. Ia melirik Vrilla yang sibuk merasakan hembusan angin dingin. Disana matanya menemukan kegelisahan yang hadir.

"Bagaimana hubungan kamu?" Kyara mengambil topik random.

Vrilla menoleh balas menatap netra coklat terang itu. Sesungguhnya Vrilla tidak mengerti arah pembicaraan Kyara. "Maksud kak Kyara?"

"Hubungan kamu sama Damian."

Vrilla menggelengkan kepala cepat, "saya ga pacaran sama Damian, kak."

"Aku ga bilang hubungan kamu dan Damian itu pacaran."

Vrilla mengutuk dirinya. Yang diucapkan Kyara benar. Sesungguhnya kepalanya terlalu terisi penuh ucapan Rebecca hingga ia tidak berfikir dengan jernih. "Hubungan saya dan Damian baik-baik aja. Kami berteman dengan baik."

Kyara mengangguk-anggukan kepala, ia mengalihkan kembali pandangannya pada jalanan. Hilir mudik kendaraan lebih menenangkan dirinya dari pada balas menatap iris coklat terang di sampingnya. Entah kenapa, rasanya ia sedikit lebih tenang karena di temani Vrilla ketimbang membayangkan berdiri di sana seorang diri.

"Apa saya pantas berdiri di samping Damian, kak?"

Kyara menoleh mendengar pertanyaan itu. Iris coklat terang itu berembun. Tertangkap jelas sedih dan terluka. "Tolong jawab yang jujur, kak." pertanyaan itu meluncur begitu saja tanpa rasa canggung. Seakan-akan mereka memang saling mengenal sejak lama.

"Ada yang bilang kalo kamu ga cocok sama Damian?" tebak Kyara.

"Damian selalu berdiri ditempat terang. Di kelilingi banyak teman berbanding terbalik dengan saya. Saya selalu berdiri sendiri. Saya egois, keras kepala, kasar, apa saya pantes berdiri disamping Damian?"

Kyara mengepal jarinya kuat hingga buku jarinya memutih. Apa yang dirasakan Vrilla bisa ia pahami. Masalah menimpa gadis di hadapannya sama dengannya. Ia selalu berdiri di dalam naungan kegelapan seorang diri, lain halnya dengan orang yang ia suka, selalu bersinar.

"Apa peduli kamu?"

Mata Vrilla berembun. Ia bisa menyadari sekarang bagaimana perasaannya sekarang pada Damian. Ia memang sudah jatuh pada Damian. Tinggal menunggu cintanya bersemi indah.

"Kamu bilang kamu egois, 'kan? Terus kenapa kamu pikirin omongan orang lain?" Kyara mengadah menatap langit. "Kalo kamu egois genggam Damian buat kamu sendiri. Jangan ngalah sama orang lain. Jangan sampe kamu merasakan menggenggam angin, kosong."

Kyara mengusap tengkup lehernya untuk mengaliri rasa hangat. "Tentang orang yang bilang kamu setara ato ga, mereka hanya iri. Mau buat kamu minder dan berakhir keputusasaan kaya sekarang."

"Damian terlihat jelas suka kamu, terus buat apa lagi nunggu milikin dia? Kalo kamu masih bahas setaranya kamu sama Damian, lebih baik menjauh dari dia. Kamu bakal nyakitin Damian. Kamu ga percaya sama pilihan dia milih kamu. Apa kamu ga berpikir sudut pandang Damian bisa milih kamu?"

Kyara balas menatap Vrilla lagi. Ia menepuk bahu Vrilla lalu tersenyum. "Semua jawaban ada di kamu, aku hanya memperinci perasaan Damian. Aku pulang dulu. Jangan pulang terlalu malam." Setelahnya Kyara pergi melangkah meninggalkan Vrilla dengan semua ucapannya.

Kyara tak sanggup berbalik, tidak betah terlalu lama bersama Vrilla. Gadis netra coklat terang itu mirip dengannya. Apa yang Kyara ucapkan tadi adalah bumerang baginya, kata-kata barusan berperan ganda untuknya. Nyatanya, ia masih saja tersesat walau sudah tau jawabannya. Jadi sekarang hidupnya lebih menyedihkan dari pada Tristan yang merendahkan dirinya hari ini.

Kyara berhenti melangkah setelah mendapati siluet seseorang dihadapannya. Ia mengangkat pandangan dan dapati Damian sedang nenumpu lengan pada lutut. Nafasnya memburu layaknya habis menjalani maraton panjang.

"Damian?" Kyara terkejut. "Pasti lo cari-"

Kalimatnya terpotong karena Damian memeluknya erat. Mendekapnya penuh dengan kekuataan seakan takut kehilangan. Kyara tidak berkutik. Ada apa dengan Damian? Dia sedang tidak mencari Vrilla?

"Bodoh!"

Kyara tercengang. Untuk pertama kalinya ia dihina begitu tegas. Dekapan Damian semakin erat tak peduli Kyara akan sesak napas sekali pun. "Ngapain lo disini, bikin khawatir aja!"

Kyara di khawatirkan oleh Damian. Sederhana namun bagi Kyara begitu menyentuh. Menyentuh karena sebenarnya ia selama ini membatasi diri. Dilingkupi rasa takut.

Kyara menenggelamkan wajahnya pada dada Damian. "Maaf." gumam Kyara.

"Gue nyariin lo ke kampus, tapi lo ga ada. Ada yang bilang lo udah pulang dari siang! Nomor lo ga aktif gue teleponin. Lo itu kenapa?! Bikin panik aja udah malem kaya gini belum pulang!" omel Damian bak ibu kost nagih tunggakkan.

Kyara balas memeluk Damian, menyengkram kuat punggungnya. "Maaf." Kyara hanya punya kata itu.

"Kasih tau kalo lo mau pergi kemana-mana. Entah pada mamah, papah, kak Levi ato gue. Lo harus ngomong! Lo itu cewe, ga sepantesnya keluyuran tanpa kabar. Bikin khawatir aja!"

"Maaf, Damian." bisik gadis itu.

Damian menghela napas panjang. Ia memberikan ruang untuk Kyara bernapas dengan dekapannya yang tak lagi seerat pertama kali mereka bertemu. Surai pirang itu perlahan di usap lembut penuh perhatian dan kasih sayang. "Gue sayang sama lo, kak. Jangan biarin kita terpisah disaat kita udah dekat."

Kyara nyaris menangis tapi ia sebisa mungkin menahan air matanya. Ucapan Damian meruntuhkan egosime akan membatasi dirinya kembali.

Sejak awal Kyara tidak ingin terlalu dekat dengan Damian dan tidak juga ingin di benci dengannya. Ia ingin mereka tetap seperti ini, karena ia takut kehilangan Damian. Terlalu takut untuk kehilangan kerluarganya.

Alasan Kyara selama ini menjaga jarak hanya takut apa yang menjadi rahasianya terbongkar, berakhir Damian membencinya. Meninggalkannya dan menghinanya seperti saat ia lahir kedunia ini. Kehidupannya adalah dosa. Kyara selalu berpikir tidak ada yang menginginkannya.

"Gue juga sayang sama lo, Damian."

Semua itu runtuh. Ia akan berusaha percaya pada Damian karena ia tidak mau menyakiti Damian dengan egoismenya. Berusaha membuka diri walau pada akhirnya akan berakhir menyakitkan.

***

Jangan lupa vote jika suka. Kritik dan saran diperlukan. Terima kasih 👋
.
.
.

Apology [Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang