Bandung, Juli 2014
Mikha melangkah melewati gerbang sekolah barunya dengan penuh semangat. Berjuta-juta mimpi dan harapan diselipkan dalam setiap langkahnya. Ia ingin menjadi dirinya yang baru. Menjadi Mikha yang bisa bertahan tanpa Raka.
Mikha mendaftar di salah satu SMA di kota Bandung. Hanya beberapa temannya yang masuk SMA ini karena jaraknya cukup jauh dari desa, sebagian besar memilih bersekolah di sekitar sana saja. Ini merupakan peluang bagi Mikha, karena teman-teman yang nilainya lebih tinggi banyak yang mendaftar di SMA terdekat.
Mikha masuk ke ruangan yang telah ditunjukkan tadi. Wajah-wajah asing mulai tampak di kelasnya. Ada rasa ragu, saat Mikha hendak memilih tempat duduk. Sebagian besar dari mereka terlihat begitu manis dengan wajah kota, sedangkan dirinya berbeda.
“Hai! Mau duduk denganku?” tanya seorang gadis yang duduk tak jauh dari tempatnya berdiri.
“Boleh?”
“Tentu saja.”
Mikha tersenyum, lalu duduk di samping gadis itu.
“Namaku, Masayu Adriana. Kamu bisa memanggilku Ayu.” Ucap gadis itu sambil menjulurkan tangannya.
Dengan sopan, Mikha menjabat tangannya. “Mikha. Semoga kita bisa menjadi teman baik.” Jawab Mikha.
Ayu tersenyum. “Oh, ya, dari SMP mana?”
Mereka mulai bercakap dengan akrab. Membicarakan hal-hal menyenangkan yang terjadi di masa SMP masing-masing. Menceritakan tentang mimpi-mimpi yang hendak mereka capai selama masa SMA.🌙
Jakarta, Juli 2014
Raka duduk di bangku paling depan dekat dengan pintu. Matanya kini terlapisi kacamata yang membuat wajahnya terlihat lebih dewasa. Lelaki itu menunduk membaca sebuah buku di hadapannya. Tenang, itu bukan buku pelajaran. Itu adalah buku mimpi yang pernah ditulisnya bersama Mikha saat sebelum ujian nasional.
Sesekali Raka tersenyum mengingat ekspresi Mikha saat menuliskan mimpinya. Salah satunya adalah mendapatkan nilai seratus di pelajaran Seni.
Ia mengatai Mikha karena mimpinya itu sangat mustahil untuk diwujudkan, karena sejauh ini tidak ada nilai seratus untuk nilai seni. Dan hari itu, Mikha bilang kalau dia akan menjadi orang pertama yang dapat nilai seratus di pelajaran seni.
“Hei! Diem-diem aja lo!” sapa seseorang yang kini menarik kursinya untuk dapat lebih dekat dengan Raka. “Darimana lo?”
“Bandung,” jawab Raka dengan lirih.
“Kelihatan banget bukan orang Jakarta.” Komentarnya. “Gue Rio. Nama lo siapa?”
“Raka.”
“Lo mau masuk aksel?” tanya Rio, Raka tak langsung menjawab. “Ya, kalau gue lihat dari wajah lo kelihatan aja sih lo tipikal orang yang suka belajar.”
“Ah, nggak juga.”
Rio menepuk bahu Raka. “Gue butuh temen. Lo mau nggak jadi temen gue?”
Raka hanya tersenyum, lalu mengangguk.
“Ah, bagus, deh! Oh, ya. Ceritain gue tentang Bandung dong. Gue belum pernah ke Bandung, btw.”
Raka menutup bukunya, lalu mulai menceritakan segala yang ia tau tentang Bandung. Hanya tentang Bandung bukan tentang kehidupannya di Bandung.
🌙
“Raka, ikut seleksi aksel, yuk!” ajak Rio saat mereka sedang menikmati makan siang di kantin. “Gue yakin lo pasti bisa masuk aksel, percaya, deh!”
KAMU SEDANG MEMBACA
ALUM
Teen Fictiona.lum (adj) : layu "Satu hal yang aku percaya tentang kepergianmu. Kamu akan pulang." Best Rank 1 dalam #lepas (12 Juli 2019)