22| Pulih

56 8 0
                                    

Jakarta, April 2018

Bagaimana kondisi Mikha?

Setelah mengetahui penyakitnya, Mikha menegaskan untuk berhenti kuliah. Awalnya Lilis tak mau, tapi Mikha memaksa tidak akan mau berobat jika masih kuliah.

Kondisi gadis itu kini semakin kurus. Kini ia harus dibantu kacamata karena pandangannya yang buram. Pendengarannya sudah mendapat penanganan, sehingga ia tak tuli penuh hanya sesekali berdengung atau tidak bisa menangkap suara dengan jelas.

Ia pun pindah pengobatan ke Jakarta supaya menghemat ongkos tinggal. Mereka pindah ke rumah keluarga Raka di Jakarta.

Sudah sebulan lebih setelah diagnosis, Mikha keluar masuk rumah sakit untuk mendapat penanganan medis. Dan hari ini, untuk pertama kalinya, Mikha diperbolehkan pulang.

"Bu, Mikha ingin pulang ke Bandung." Ucap Mikha dengan susah payah.

"Jangan dulu! Kamu baru saja pulih, ibu takut nanti terjadi sesuatu." Jawab Lilis dengan lembut.

Mikha mengangguk. Ia sudah berjanji untuk mengikuti apapun perintah ibunya.

Di kamar Raka lah, Mikha akan tidur. Di kamar yang pernah ditempatinya pula saat berkunjung ke sana.

"Mikha," panggil Lilis dari ambang pintu kamar. Mikha menoleh, lalu menunjukkan senyumannya.

"Kamu mau sesuatu hari ini?"

"Sesuatu apa?" Tanya Mikha.

"Jalan-jalan mungkin? Mumpung kondisimu sudah lebih baik."

Mikha menggeleng.

"Kenapa, nak?"

"Mikha tidak mau merepotkan. Mikha di sini saja sudah bahagia.

Lilis mengelus puncak kepala Mikha. "Kamu yakin?"

Mikha mengangguk.

"Oh, ya. Rencananya akhir pekan nanti, Bang Fikri mau kemari buat jengukin kamu."

Mikha tersenyum. "Mikha kangen banget sama Bang Fikri."

"Jadi, kamu nggak boleh sedih, ya?"

"Mikha nggak pernah sedih, Bu."

Lilis tersenyum bahagia karena kini kondisi putrinya sudah sangat membaik.

"Kalau ada apa-apa ke dapur aja, ya? Ibu mau masak dulu."

Mikha mengangguk. Setelah Lilis pergi, ia kembali melamun. Menertawakan masa lalunya, dan menanyakan masa depannya.

🌙

Sore itu, Mikha, Lilis, dan Fatma duduk bersantai di ruang tengah untuk menyaksikan acara keluarga di salah satu saluran televisi. Tiba-tiba, terdengar pintu rumah diketuk. Lilis pun bangkit untuk membuka pintu.

"Assalammu'alaikum."

Seruan suara khas itu membuat Mikha mengalihkan fokusnya. "Raka? Rio?!" Mikha berseru terkejut ketika melihat kedua lelaki itu kini berdiri di ambang pintu.

Raka dan Rio melangkah masuk untuk menyalami Fatma, kemudian duduk di samping Mikha.

"Apa kabar?" Tanya Rio setelah Fatma dan Lilis berlalu ke dapur.

"Aku sudah lebih baik, tenang saja."

"Lo bisa denger gue?" Tanya Rio sedikit terkejut.

Mikha mengangguk. "Lebih baik bukan?"

Rio mengangguk.
"Gue kangen banget sama lo, tau nggak! Tapi, Raka nggak bolehin gue ke sini."

"Mungkin Raka nyari waktu yang tepat." Jawab Mikha. "Iya, kan, Raka?" Tanya Mikha pada Raka. Namun, lelaki itu hanya melamun sejak tadi.

"Raka?"

"Hm?"

"Kenapa, sih, lo?" Tanya Rio sambil menyikut lengan Raka.

Raka menggeleng. "Nggak papa. Aku ke dapur dulu." Pamitnya, lalu melangkah meninggalkan Rio dan Mikha.

"Raka kenapa? Ada masalah sama kuliahnya?" Tanya Mikha.

Rio mengendikkan bahu. "Tadi pas di jalan dia masih baik-baik aja."
"Oh, ya. Gue bawain lo terang bulan. Lo mau nggak?" Rio bergerak membuka plastik hitam yang tadi dibawanya.

"Coklat pisang?"

"Tepat sekali!"

"Enak banget berduan makan terang bulan." Suara Fatma memecah keseruan Rio dan Mikha.

"Mari tante ikut makan!" Ajak Rio dengan sopan.

"Kamu ini tau saja kalau saya sudah kepengin." Jawab Fatma sambil tertawa renyah.

🌙

"Aku senang kamu terlihat lebih ceria." Ucap Raka.

Mikha menengadah menatap langit yang tak berbintang. "Aku tidak ingin membuat ibu sedih."

"Aku tau itu. Tapi, kamu bisa keluhkan semuanya padaku, Mikha. Jangan khawatir." Ucap Raka sembari tersenyum tipis.

Mikha menatap lelaki itu dengan serius. "Kepalaku sakit, Raka. Tubuhku terasa lemah padahal aku terus duduk. Tanganku kadang kaku dan sulit digerakkan. Kadang aku tidak bisa mendengar apapun. Aku tidak nafsu makan. Obat-obatanku begitu banyak dan pahit. Aku ingin semua ini berakhir, Raka." Keluh Mikha.

Raka tersenyum karena akhirnya Mikha punya tempat untuk mengeluarkan semua keluhannya. "Maaf."

"Hm?"

"Maaf karena aku tidak bisa meneman di saat kondisimu seperti ini."

"Kamu datang dan mau mendengarkan semua keluhku saja aku sudah sangat senang." Jawab Mikha.

Mikha menyentuh bahu Raka. "Ka, kamu nggak usah memaksa untuk selalu mendampingi aku. Di sini sudah ada Ibu. Jadi, aku mau kamu segera selesaikan kuliahmu saja, ya? Biar nanti aku bisa lihat kamu diwisuda."

Raka mengangguk kecil. "Kamu rindu Bandung?"

Mikha mengangguk mantap. "Sangat."

Raka tersenyum. "Sebelum aku kemari, aku bermimpi membawamu ke Bandung."

"Benarkah? Lalu apa yang terjadi?"

"Apa mimpi buruk boleh diceritakan?" Raka bertanya ragu.

Mikha mengurungkan niatnya untuk tau isi mimpi Raka. "Kalau begitu, biar saja mimpi itu menjadi mimpi. Jangan jadi kenyataan."

Raka tersenyum lagi. "Aku bermimpi kita ketiduran di bawah rumah pohon sampai pagi."

🌙

ALUMTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang