28| Bukan

49 7 0
                                    

"Bapak?"

Yudi bergerak mendekati Mikha yang masih diselimuti perasaan tidak percaya. Lelaki paruh baya itu memeluk erat putri semata wayangnya. Setelah menikah lagi, ia tak memiliki buah hati.

"Apa kabar, Nak?" Tanya Yudi.

"Mikha rindu Bapak!" Tegas Mikha diikuti dengan derai air matanya. Yudi masih diam dalam memeluk Mikha.

🌙

Sejak Mikah berusia setahun, Lilis dan Yudi bercerai. Maka, sejak saat itu pula Mikha tak pernah mendapat hangat pelukan seorang Ayah. Fikri-lah yang berusaha melengkapinya sebagai seorang kakak.

Hari ini, sebelum esok menjalani kemoterapi lagi, Mikha ingin menghabiskan waktu dengan Bapak. Yudi mengajak Mikha untuk berkeliling Jakarta dengan mobilnya. Suatu hal yang dulu hanyalah impian bagi Mikha.

"Mikha, maafkan bapak, ya?"

"Mikha tidak menyalahkan siapapun, Pak." Jawab Mikha. "Ada bapak di sini saja, Mikha sudah sangat bahagia."

"Besuk, bapak boleh temani kamu kemoterapi?"

Mikha mengangguk mantap. "Tentu saja, Mikha akan dengan senang hati menerima, jika bapak mau."

Yudi tersenyum simpul. Terselip penyesalan karena tak pernah memperhatikan anak perempuannya.

Malam itu benar-benar jadi malam yang istimewa pada Mikha. Mereka pergi ke beberapa tempat yang belum pernah Mikha kunjungi sebelumnya. Ditambah bersama dengan sosok yang dirindukannya, seakan masih ada satu juta hari lagi untuk Mikha hidup.

🌙

Jakarta, Agustus 2018

Arzam menatap kosong rumah singgah yang masih ramai seperti biasanya. Sejak membawa Mikha kesana, ia yang jadi jarang datang.

Tau bahwa Mikha di Jakarta, Arzam begitu bimbang. Ia ingin bertemu dan kembali menjadi sahabatnya, tapi sulit dilakukannya saat masih ada Raka bersama Mikha. Pun kini telah ada Rio yang mungkin telah mengganti tempatnya.

Yang bisa Arzam lakukan hanyalah terus menulis. Membiarkan kegalauan dirinya tercipta menjadi sebuah buku seri kedua dari buku "Antara Bandung dan Jakarta".

🌙

Kemoterapi kali ini, Mikha jalani dengan lebih semangat. Meskipun ia tau bahwa efek sampingnya begitu menyakitkan.

Sore itu, Mikha masih mengeluh sakit pada bagian tengkuknya. Kaku. Ia berusaha untuk tidak menampakkannya, tapi terlalu sakit. Bahkan lebih sakit dari yang biasa ia rasakan.

Nyatanya, kehadiran Yudi hari itu sedikit mengurangi rasa sakit akibat kemo yang baru saja usai. Mikha selalu mencoba tersenyum setiap Yudi membantunya.

"Pak," Mikha berucap dengan susah payah. "Apa boleh Mikha minta sesuatu?" Tanya Mikha.

"Tentu saja, nak. Kamu mau apa? Bapak pasti akan memberikan apapun yang kamu mau."

"Mikha ingin ibu dan bapak bersama lagi. Apa bisa?" Tanya Mikha.

Yudi diam. Ia tak menyangka permintaan Mikha akan sesulit ini.

"Supaya Mikha bisa punya keluarga yang utuh, pak."

Yudi mengangguk. "Iya, nanti bapak bicarakan dengan ibu, ya?"

"Pak, Mikha ingin selalu seperti ini. Punya bapak yang menemani Mikha."

Yudi mengangguk. "Setelah ini, Bapak akan selalu menemanimu, Mikha."

Mikha tersenyum dengan susah payah. "Terimakasih, Pak."

🌙

Jakarta, November 2018

Kondisi Mikha membaik dalam waktu cepat semenjak kehadiran Yudi. Gadis yang kini telah kehilangan seluruh rambutnya itu, semakin bersemangat untuk hidup lebih lama.

Hari-hari Mikha berubah. Kini, ia bekerja di salah satu rental buku. Meskipun hanya sebagai pencatat, ia merasa lebih hidup. Rental buku itu adalah milik Arina.

Sesekali, Arzam datang untuk menyapa gadis kesayangannya itu. Mikha pun senang karena akhirnya ia bisa melewati masa buruknya. Ia pun sering membelikan Mikha makanan ringan dan es krim, lalu mengajaknya berbincang di taman depan rental.

Intensitas pertemuan mereka bertambah setelah Arzam memutuskan untuk kembali bersahabat dengan masa lalunya, Mikha. Berhubung Raka dan Rio di Depok pulalah Arzam berani mendekati Mikha seperti ini.

"Kak Arzam masih main sepak bola?" Tanya Mikha di tengah pembicaraan hangat mereka.

"Sekarang beralih ke futsal."

"Kenapa?"

"Sepak bola butuh banyak orang. Susah sekarang. Lebih enak futsal."

Mikha hanya mengangguk. Toh, dia juga tidak mengerti.

"Kak Arzam masih sering ke Bandung?" Tanya Mikha lagi.

"Sesekali, sih. Sudah tidak seperti dulu."

"Ke rumah pohon?"

"Tidak. Aku tidak berani ke sana tanpamu. Kamu sendiri kapan pulang ke Bandung?"

Mikha tertawa. "Aku mungkin tidak bisq ke Bandung lagi."

"Kenapa?"

"Aku sedang berobat. Mungkin butuh waktu lama."

"Padahal aku ingin mengajakmu ke Bandung saat tahun baru."

Mikha malah tertawa. "Aku malah ingin menikmati tahun baru di Jakarta. Kan belum pernah."

"Serius?"

Mikha mengangguk.

"Kalau begitu kita main keluar bersama, ya?"

"Tidak bisa."
"Kondisiku tidak memungkinkan untuk keluar malam. Atau mungkin aku sudah tidak bisa bertahan,"

"Mikha." Arzam terkejut ketika mendengar Mikha berkata begitu.

"Ya, tidak ada yang tau bagaimana nasibku nanti. Tapi, lebih baik jangan berharap banyak dulu."

Arzam menunduk. Ia tak tau kondisi Mikha bisa jadi seburuk itu.

"Tapi, aku masih punya alasan untuk bertahan. Jadi, aku akan berusaha bertahan."

"Apa alasanmu?" Tanya Arzam.

"Raka.

🌙

ALUMTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang