3| Ketakutan

146 13 0
                                    

Mikha masih berbaring di ranjang kamarnya. Ia tak berniat untuk pergi kemana pun. Satu-satunya yang diinginkannya hanya diam di kamar sambil mengikhlaskan kepergian Raka.

Tak hanya Mikha, suasana seluruh rumah juga berubah drastis. Kehangatan sapaan Mikha yang biasanya memecahkan keheningan, sekarang lenyap.

Seluruh penghuni rumah silih berganti mengetuk pintu kamar Mikha guna memintanya keluar. Sayangnya, Mikha masih enggan untuk keluar bahkan saat matahari sudah mulai condong ke arah barat.

"Mikha?" Panggil Fikri dengan suara lembut. Tanpa diduga pintu kamar Mikha perlahan terbuka.

Wajah ayu Mikha tampak pucat dengan pakaian yang awut-awutan. Mikha berusaha menatap Fikri dengan senyuman.

Fikri sedikit lega karena akhirnya Mikha mau keluar kamar. "Kamu makan dulu, ya?" Bujuk Fikri. Mikha mengangguk pelan.

🌙

Seusai makan dan membersihkan diri, Mikha berniat untuk kembali mengurung diri. Tapi, saat sampai di kamar, Fikri sudah duduk di atas kasurnya sambil membawa sebuah buku.

"Gue numpang belajar," Fikri berucap tanpa menatap Mikha.

"Kak, Raka kemana?" Tanya Mikha. "Dia sudah berangkat ke Jakarta?"

Fikri mengangkat bahunya. "Kita tinggal berdua di rumah. Yang lain sedang keluar entah mencari apa."

"Kenapa kakak nggak ikut?"

"Besuk masih ujian."

Mikha duduk di samping ranjang. Ia menatap langit-langit kamarnya yang dipenuhi gambar bintang yang sengaja ditempelnya. "Jakarta jauh nggak, sih, kak?" Tanya Mikha sambil membayangkan kemungkinan terburuk ketika Raka pergi nanti.

"Kenapa?"

"Kalau aku ikut Om Danu ke Jakarta gitu gimana?"

Fikri menutup bukunya, lalu mendekat ke Mikha. "Lo sebentar lagi masuk SMA. Dan ketika lo masuk SMA nanti, lo akan dianggap sebagai anak yang udah dewasa bagaimanapun kenyataan sebenarnya. Jadi, lo harus mulai bisa berpikir dewasa mulai sekarang."

Mikha mendengarkan setiap kata yang keluar dari mulut Fikri. "Om Danu pasti mau mau aja kalau lo mau ikut ke Jakarta, bisa jadi Ibu pun akan izinin lo. Tapi, lo harus bisa berpikir dewasa. Ketika lo ada di Jakarta akan ada berapa orang yang lo repotin? Mungkin Om Danu ngga akan masalahin hal itu, tapi lo perlu tau biaya hidup di Jakarta itu mahal."

"Percaya sama kakak. Lo pasti bisa temuin orang-orang sebaik Raka di masa SMA lo. Lo pasti bisa punya banyak temen. Yang lo takutin sekarang cuman gimana kondisi lo kalau tanpa Raka, jadi yang lo perluin adalah percaya sama diri lo, bukan malah nyakitin diri lo."

Mikha menunduk. Sekarang ia sadar bahwa ini adalah saatnya menjadi lebih dewasa.

🌙

Masih seperti kemarin, Mikha rasanya belum ikhlas untuk berdamai dengan keadaan. Ia masih mengurung diri di kamar tanpa sebab yang jelas.

"Mikha, main yuk!" Suara Raka terdengar jelas dari balik pintu kayu kamar Mikha.

Mikha membuka sedikit pintu kamarnya, mengintip Raka yang berdiri tegap di sana. "Kemana?"

Raka tersenyum, akhirnya Mikha kembali. "Semua tempat yang kamu mau."

"Tunggu sebentar." Jawab Mikha, lalu menutup pintunya lagi untuk bersiap.

Siang itu, Raka dan Mikha pergi ke pusat Kota Bandung. Raka berusaha melakukan hal konyol untuk menghibur Mikha yang terlihat murung sejak tadi.

"Mik, kamu sebenarnya kenapa?" Tanya Raka saat keduanya duduk sambil menikmati es krim. "Kamu nggak suka?"

"Aku selalu suka kalau melakukan sesuatu dengan Raka," Mikha menjawab dengan datar.

"Aku tau berat untuk membahas ini sekarang, tapi aku tidak mau kamu sedih saat aku pindah ke Jakarta nanti." Raka mulai menjelaskan maksudnya mengajak Mikha pergi.

"Ini berat untukku juga. Tapi, mungkin ini yang terbaik. Bapak sudah mempersiapkan kehidupan kami. Dan aku tidak mungkin membantahnya, Mikha."

"Iya aku mengerti. Ini masalahnya bukan kepergianmu, tapi masalahnya ada pada diriku yang tidak bisa menerima itu."

Raka masih tak bisa menemukan raut ceria di wajah Mikha yang biasanya tersuguh. "Jangan terlalu memikirkan aku. Kamu pasti akan dapat banyak teman baru. Percayalah."

Mikha mengangguk. "Aku tau."

"Aku janji akan sering-sering pulang untuk bertemu denganmu."

Mikha menatap Raka dengan dalam. "Menurutmu apa kita bisa menjadi seperti anak kecil lagi setelah masuk SMA?" tanya Mikha dengan nada getir. Detik selanjutnya, ia kembali menunduk. "Cuma itu yang aku takuti saat ini. Aku takut kita akan terjebak di dunia penuh kedewasaan. Aku takut tidak bisa bercanda bersama lagi. Aku takut kita tidak bisa menghabiskan waktu di rumah pohon hanya untuk bermain petak umpet berdua. Aku takut semua itu hilang, Raka."

Raka menatap Mikha yang mulai berkaca-kaca. "Waktu selalu punya jawaban atas segalanya, Mik. Kita hanya perlu berjalan dan menanti apa ketakutan kamu itu terjadi."

"Kak Fikri bilang, kalau kita sudah masuk SMA, siap atau tidak kita akan dianggap dewasa. Kita tidak akan diberi kesempatan menjadi diri kita yang sekarang."

"Tenang, Mikha. Kita bukan hanya sahabat, kita adalah saudara. Kita punya hubungan darah. Karena itu aku berani meyakinkanmu bahwa nanti kamu bisa mengajakku bercanda seperti sekarang."

"Tapi, bagaimana jika nanti aku yang sudah tidak bisa mengeluarkan candaan itu?"

Raka tersenyum dengan mudahnya, "Nanti aku yang akan memulainya."

🌙

"Ada sepak bola di lapangan desa, kamu mau lihat?" Tanya Raka.

Mikha mengangguk.

Raka mengalihkan arah sepeda kayuhnya menuju lapangan desa. Mereka duduk di tepian lapangan untuk menikmati pertandingan bola.

"Bapak bilang, mereka dari klub sepak bola salah satu SMA di Jakarta." Ucap Raka.

"Oh, ya?" Mikha berseru tak percaya. "Mungkin nanti kalau kamu sudah jadi anak Jakarta, kamu bisa sekeren mereka."

Raka tertawa kecil. "Aku kan memang sudah keren sejak zigot,"

Mikha tertawa lepas. Ia menyikut lengan Raka. Ini adalah kali pertama Mikha tertawa sejak kabar Raka akan ke Jakarta.

🌙

Vomment jangan lupa yaa 💐

ALUMTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang