9| Untuk Mimpiku

63 10 0
                                    

Jakarta, Januari 2015

"Selamat tahun baru, Mikha." Bisik Raka yang sedang duduk di atas ranjangnya. Ingatannya menjelajah ke masa ketika ia dan Mikha sering menghabiskan akhir tahun di rumah pohon. Biasanya akan ada kembang api yang sengaja dinyalakan menyambut tahun baru.

Satu persatu kenangan akhir tahun bersama Mikha menghantui pikiran Raka. Biasanya Mikha akan mengajaknya naik sepeda untuk berkeliling desa selepas sholat isya', tapi semuanya berbeda tahun ini. Sangat berbeda.

🌙

Bandung, Januari 2015

Mikha sengaja menutupi telinganya dengan guling untuk mencegah suara kembang api memecahkan sunyinya malam. Sejak tadi, ia selalu berusaha tertidur, tapi rasanya begitu sulit untuk dilakukannya. Sangat sulit.

Setelah beberapa menit, Mikha menyerah. Ia berlari ke luar kamar, menyambar sepeda milik Raka, lalu mengayuhnya dengan kepayahan menuju rumah pohon. Semua penghuni rumah tidak ada di tempatnya karena pergi ke villa Pak Agus untuk menikmati kembang api.

Saat Mikha sampai di rumah pohon, Mikha meletakkan sepedanya asal. Langkahnya perlahan semakin mendekat dengan wajah bingung. "Raka?" Panggil Mikha dengan nada ragu.

Namun, dia bukan Raka. "Hai, Mikha. Selamat tahun baru."

Mikha terduduk menangis sesenggukan. Ia menutupi matanya dengan kedua tangannya. "Kenapa aku nggak bisa ikhlas kalau Raka nggak pulang ke Bandung." Rintih Mikha.

Arzam mendekap Mikha dari belakang. Ia mengelus pelan puncak kepala gadis itu. "Jangan nangis, Mikha." Bisik Arzam.

"Aku harus gimana, kak?"

"Harus belajar ikhlas."

"Iya. Tapi, gimana?"

"Nggak akan ada yang tau caranya kecuali dirimu sendiri."

Mikha menggeleng.

"Aku bantu, ya?"
"Emang bisa?"

"Bisa, dong. Asalkan kamu percaya sama aku."

Mikha mengangguk. "Iya. Aku siap percaya."

“Dengarkan aku baik-baik.” Arzam menjeda kalimatnya. “Mikha akan baik-baik saja tanpa Raka.”

🌙

"Mikha, ada surat untukmu." Ucap Lilis ketika melihat Mikha keluar dari kamarnya.

"Dari siapa, bu?"

"Nggak tau. Ibu juga heran pak pos rajin sekali ngirim surat pagi-pagi gini, padahal tanggal merah, lho.” Jawab Lilis heran.

“Terus suratnya di mana?”

“Di atas kulkas.” Jawab Lilis. “Kakakmu pergi ke Jakarta tadi pagi. Katanya mau ngajak kamu, tapi kamu nggak bangun-bangun.”

“Naik apa?” tanya Mikha terkejut.

“Naik motor, soalnya nggak dapet tiket bus.”

Mikha mengangguk. Tiba-tiba rasanya biasa saja saat ia tak bisa datang ke Jakarta.

“Mik, nggak papa?” tanya Lilis.

“Nggak papa, bu. Nantii Raka pasti juga bakal pulang ke Bandung.” Jawab Mikha. “Mikha mandi dulu, ya?” Melangkah meninggalkan dapur.

🌙

Mikha duduk di depan rumah pohon sambil memainkan kakinya yang tergantung. Ia membuka amplop surat yang diterima ibunya tadi pagi.

Untuk Mikhaa
Mikha, aku pulang ke Jakarta dulu. Aku mau menceritakanmu pada Jakarta. Soalnya, kalau kebanyakan aku takutnya lupa. Oh, ya, jangan lupakamu harus tetap bisa tanpa Raka. Aku akan sering main ke Bandung, kok, tenang saja. tapi, saat aku ke sana jangan sedih terus, ya?

Semangat melewati semester dua. Tahun ini aku akan lulus.
Arzam.

Mikha tersenyum kecil. Senang rasanya mendapat sahabat baru. Ia bahkan tak sadar sudah hampir setahun mengenal Arzam, ia tak punya nomor ponsel Arzam begiitupun sebaliknya.

Gadis berambut legam itu mendongakkan kepalanya menatap langit yang menunjukkan warna putih dan biru sempurna. Ia pun menunjukkan senyumannya pada alam di sekitarnya. “Selamat pagi 2015, aku akan bisa menerima masa ada atau tanpa Raka.”

🌙

Jakarta, Januari  2015

Raka baru saja sembuh dari demam yang hampir seminggu mengharuskannya beristirahat di kamar. Ia pun melangkah keluar untuk menikmati hari baru di 2015. Itu pun sempat mendapat  larangan dari orang tuanya, tapi setelah berusaha keras Raka berhasil meyakinkan keduanya.

Langkah Raka terhenti di sebuah toko bunga yang buka di antara jajaran toko yang tutup di awal tahun. Ia melihat bunga-bunga mekar yang terawat begitu baik, bahkan ada beberapa yang masih basah karena disiram.

“Ada yang bisa saya bantu, kak?” tanya seorang gadis yang keluar dari dalam toko.

“Saya ingin beli bunga, tapi tunggu sebentar,  saya belum bisa memilih.” jawab Raka.

“Bisa saya bantu ?” tanya gadis itu lagi.

Raka menggeleng. “Maaf karena mungkin agak lama, tapi saya ingin memilih sendiri.”

“Raka, ya?” tanya gadis itu.

Raka mengalihkan pandangannya pada gadis di sebelahnya. “Kamu kenal saya?” tanya Raka dengan ragu.

Gadis itu tersenyum kecil. “Aku ini temanmu sekelas sebelum kamu masuk kelas aksel.” Jawabnya dengan tawa kecil.

Raka sedikit sulit mengingat gadis di hadapannya, “Hasna?” tanya Raka memastikan.

Gadis itu tertawa kecil lalu mengangguk. “Arina.”

“Oh, maaf.”

Arina tertawa kecil. “Perasaan teman kita nggak ada yang namanya Hasna juga.”

“Maaf, lupa.”

“Jadi, kamu mau beli bunga apa?”

“Entahlah. Mungkin ini.”

Arina tersenyum, “Untuk siapa?” tanya Arina sambil menggoda Raka.

Pertanyaan itu membuat Raka terdiam. Ia bahkan tak tau untuk apa dia membeli bunga sekarang. tujuan awalnya hanya ingin melihat-lihat bunga.

“Aku hanya bercanda.” Arina tertawa melihat respon Raka. Ia pun masuk untuk mengemas bunga yang akan dibeli Raka.

“Ini bunganya,” Arina menyerahkan bunga yang telah dibungkusnya pada Raka.

“Berapa?”
“Karena kamu pembeli bunga pertama tahun ini, kamu tidak perlu bayar.” Jawab Arina disertai sebuah senyuman.

Dengan canggung, Raka menerima bunga yang diberikan oleh Arina. Ia terus melihat ke arah bunga yang kini ada di tangannya. “Aku permisi dulu. Terimakasih bunganya.”

Setelah Arina mengangguk, Raka pun melangkah pergi. Namun, Raka tiba-tiba menghentikan langkahnya. Ia kembali ke toko bunga Arina.

“Ada apa?” tanya Arina.

“Ini untukmu saja, karena kamu orang pertama yang baru saja berkenalan denganku.” Jawab Raka sambil menyerahkan bunga di tangannya pada Arina.

“Tolong disimpan. Jangan dijual lagi.” Raka tersenyum sebelum akhirnya benar-benar pergi.

Cahaya siang mulai redup perlahan. Kilauannya mulai tergantikan dengan manis kelip dari bintang. Di sini, di sebuah kursi di lantai dua sebuah kafe, Raka duduk sembari menatap buku jurnalnya yang masih kosong.

Matanya menatap pada sebuah air mancur yang disinari oleh lampu bohlam kuning lima watt. Raka sedang menguatkan niatnya serta menyiapkan untuk berani berkomitmen pada diri sendiri untuk mewujudkan mimpinya.

Mimpi untuk selalu bersama Mikha.

🌙

Raka untuk Mikha.

ALUMTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang