14| Siap Pergi

65 9 3
                                    

Jakarta, Mei 2017

Pukul 9.30PM. Arzam memacu motornya meninggalkan Jakarta. Ia tak peduli dengan segala yang ditinggalkannya. Dalam pikirannya sekarang, ia harus segera meninggalkan Jakarta.

Tengah Malam. Arzam menghentikan motornya di rumah pohon. Ia melepas helmnya, lalu menatap kosong rumah pohon itu. Gelap. Berarti Mikha belum ke sana sore ini.

Arzam turun dari motornya, lalu melangkah menuju rumah pohon. Dinyalakannya lampu kuning lima watt yang menjadi penerangan satu-satunya. Lelaki itu pun masuk ke rumah pohon.

Mata Arzam seolah terpaku ketika melihat foto-foto Mikha dan Raka yang disinari lampu tumblr. Ia fokus pada foto saat dua insan itu berpelukan dengan membawa map bertuliskan nama masing-masing. Mereka masih menggunakan seragam SMP.

Tiba-tiba ada sesuatu yang menghantam dada Arzam. Perih dan sesak, ketika ia menyadari kehadirannya hanyalah sebatas pengganti. Jika Raka sudah kembali, sepantasnya pula ia membiarkan Mikha bersama Raka.

"Mikha," panggilnya sembari mengelus foto itu. Ada kesedihan dalam bening matanya. "Kalau Raka pulang, maka aku akan pergi." Lanjutnya berjanji pada dirinya sendiri.

🌙

Bandung, Juni 2017

Berhari-hari Arzam ada di Bandung. Menanti kabar dari Mikha. Selalu menunggunya di rumah pohon. Tapi, Mikha bak hilang ditelan bumi. Ia sempat datang ke rumahnya, tapi tak ada seorang pun di sana.

Hari ini adalah hari pertama di Bulan Juni. Ia melangkah santai menuju rumah pohon, seperti yang dilakukannya belakangan ini. Di rumah pohon, duduk membisu sembari menunggu Mikha.

Namun, sepertinya hari ini akan berbeda. Saat sampai di rumah pohon, Arzam melihat sepeda yang biasa digunakan Mikha terparkir di bawah pohon. Senyumnya merekah sempurna, ia pun mempercepat langkahnya menuju rumah pohon.

Arzam menghentikan langkahnya ketika melihat dua pasang sandal di bawah pohon. Sempat ragu, akhirnya Arzam memaksa dirinya sendiri untuk naik ke rumah pohon.

Arzam hanya berhenti di pintu. Ia mengintip ke dalam dan mendapati Mikha sedang bersenda gurau bersama Raka. Ya, Raka, seseorang yang tak pernah Arzam harapkan akan kembali.

Tapi, apa boleh buat? Jika Raka sudah kembali, bukankah ia seharusnya pergi?

Arzam pun melangkah menjauh, ia meninggalkan rumah pohon untuk pulang.

Hujan menyambut kepulangan Arzam yang penuh luka. Hujan Bulan Juni, membawa luka dalam untuk seorang lelaki bernama Arzam.

🌙

Rumah Pohon, Juni 2017

"Raka, hujan." Ucap Mikha ketika mendengar rintik hujan.

"Hujan bulan Juni, Mik. Seperti judul buku Pak Sapardi."

"Kamu masih suka baca begituam ternyata." Mikha terkekeh mendengar jawaban Raka.

Raka hanya tertawa kecil. Kemudian, sunyi kembali di antara mereka.

"Mik, kamu daftar ke UI, ya?" Bujuk Raka tiba-tiba.

Mikha segera menatap ke arah Raka. "Imposible banget, Ka."

"Biar kita bisa satu kampus."

"Raka, aku nggak kaya kamu yang pinternya pakai banget. Aku aja nggak tau bisa keterima univ atau nggak."

Raka menatap Mikha. "Ayolah, setidaknya nyoba, ya? Aku pengin kita bisa bareng lagi."
"Atau kalau nggak, kamu nggak masuk UI nggak papa. Tapi, masuk kampus di Jakarta, ya? Biar kita nggak jauh."

"Tapi, aku lebih nggak bisa jauh dari Ibu, Ka." Jawab Mikha. "Aku pun mau satu kampus sama kamu, tapi apa bisa?"

Raka ingin sekali meyakinkan Mikha, tapi rasanya untuk berucap saja sulit sekali.

"Tapi, kalau ibu mengizinkan, aku akan coba daftar ke Jakarta."

Raka mengangkat kepalanya. Ia tersenyum senang mendengar ucapan Mikha.

"Kalau ibu mengizinkan, temani aku, ya?"

"Iya. Akan kutemani!" Ucap Raka bersungguh-sungguh.

🌙

Arzam menatap langit mendung malam itu. Ia sudah bersiap di atas motornya untuk meninggalkan Bandung dan segala tentang Mikha. Tetapi, ada separuh dalam dirinya enggan pergi dan ingin bicara dengan Mikha lebih dahulu. Dan separuh lagi memberontak ingin pergi.

"Kak Arzam!"

Suara itulah yang dinanti Arzam. Diam-diam ia tersenyum karena Mikha datang. Namun, senyumnya segera lenyap saat melihat Raka di belakang Mikha.

"Akhirnya, kak Arzam datang!" Seru Mikha bahagia.

"Kalian bicara dulu saja," Raka melangkah meninggalkan Mikha dan Arzam menuju rumah pohon.

Setelah Raka pergi, Arzam turun dari motornya. "Kepalamu kenapa?"

Mikha tersenyum. "Kecelakaan kecil."

"Bagaimana hasil UNnya?"

"Paralel nomor lima!" Jawab Mikha penuh semangat.
"Kak Arzam ada masalah?" Tanya Mikha saat menyadari Arzam yang kurang bahagia.

Arzam menggeleng. "Agak capek aja."

"Mikha," Arzam berucap serius.

"Hm?"

"Aku ada beberapa masalah di Jakarta. Jadi, mungkin aku tidak bisa menemanimu belajar."

Raut wajah Mikha berubah sendu. "Sampai kapan?" Tanya Mikha khawatir.

Arzam diam, seakan menerka kapan ia harus kembali menemui Mikha. "Tidak bisa ditentukan." Jawab Arzam.

"Tapi, kakak akan tetap kembali, kan?" Mata Mikha mulai berkaca-kaca mengatakan hal itu.

Arzam menunduk. Ia tak tega mengatakan bahwa tugasnya bersama Mikha sudah usai.

Dengan ragu, Arzam mengangkat bahunya sebagai jawaban yang tak pasti.

Mikha menghamburkan diri pada pelukan Arzam. Tangisnya tak lagi tertahan. Gadis itu selalu lemah jika harus dihadapkan pada kepergian.

"Kak Arzam, jangan pergi!" Seru Mikha.

Arzam tak bereaksi. Ia terlalu takut.

"Aku nggak mau kakak pergi."

Arzam mengelus puncak kepala Mikha. "Aku nggak pergi, Mikha. Aku hanya izin sebentar. Kamu tau kemana harus mencariku."

Mikha menggeleng kuat. "Tidak. Aku tidak pernah tau hal itu!"

Arzam memaksa Mikha melepaskan pelukkannya. Ia meraih tangan Mikha, lalu menggerakkannya ke arah dada Mikha. "Aku selalu di situ, Mikha. Jadi, jangan khawatir."

Mikha kembali memeluk Arzam. Yang mungkin untuk terakhir kalinya.

🌙

ALUMTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang