Jakarta, Juli 2018
Fikri yang baru saja sampai di Jakarta, langsung menuju rumah sakit tempat Mikha dirawat. Namun, saat sampai di sana, Lilis mengajaknya keluar untuk memberi ruang pada Raka dan Rio.
"Fik, adikmu kemarin bilang ingin ketemu bapaknya," Ucap Lilis dengan berat hati. Selama ini, sosok Bapak yang dirindukan Mikha pergi saat dirinya masih balita. Ia memilih untuk bercerai dengan Lilis dan menikah lagi.
"Ibu tidak bisa menolak keinginannya, Fik. Ibu kasihan." Lanjut Lilis. "Kamu mau bantu ibu untuk nyari bapak? Kita bujuk Bapak supaya mau bertemu Mikha." Tanya Lilis dengan hati-hati.
Fikri terdiam sebentar. "Bu, Fikri tau Bapak ada di mana." Lilis langsung menatap putra sulungnya itu.
"Kamu tau? Di mana, Nak?" Tanya Lilis.
"Sebenarnya, selama ini, Fikri bekerja di perusahaan bapak." Fikri menatap ragu ibunya. "Fikri tau, nantinya Mikha akan kuliah jadi bagaimana pun caranya, Fikri harus membantu ibu untuk cari uang."
"Awalnya Fikri cuma bekerja di perusahaan sewa mobil. Tapi, tau kalau Mikha ingin masuk UI, rasanya Fikri harus dapat kerjaan lebih layak, dan akhirnya Fikri ketemu bapak,"
"Bapak begitu memperhatikan Fikri, tidak seperti dulu. Bahkan biasa kos Fikri dibayar oleh Bapak. Bapak selalu menanyakan kondisi Ibu dan Mikha juga.""Lalu, bagaimana bapakmu sekarang?"
"Istri bapak meninggal sekitar dua minggu yang lalu karena penyakit yang sama dengan Mikha."
"Kamu beritahu penyakit Mikha?"
Fikri menggeleng. "Fikri hanya bilang Mikha sakit, tapi tidak memberitahu penyakitnya."
Fikri menggenggam tangan ibunya. "Bu, Fikri yakin, kalau Bapak tau kondisi Mikha, dia pasti mau bantu kita. Bapak masih sayang sama Mikha. Bapak pun pasti akan sangat senang jika bisa diberi kesempatan untuk bertemu Mikha dan Ibu."
Lilis nyaris menangis mendengarnya. "Kenapa kamu tidak bilang, Fik?"
"Fikri cuma takut ibu tidak suka."
Lilis langsung mendekap putra pertamanya. Dipeluknya dengan penuh cinta, hingga tangisannya pecah begitu saja.
🌙
Semarang, Agustus 2018
Fikri menghadap bapaknya secara pribadi, bukan sebagai karyawan menghadap pada atasannya.
"Kamu dari Jakarta, kan? Bagaimana kondisi ibu dan Mikha?" Tanya Yudi pada putranya.
"Ibu baik. Kondisi Mikha juga semakin membaik."
Yudi menghela lega. "Baguslah. Jadi, ada apa kamu menemui bapak?"
Fikri diam sebentar untuk mempersiapkan kata-kata yang tepat.
"Mikha ingin bertemu bapak."Yudi diam.
"Sebenarnya, Mikha sakit tumor otak. Kemarin, Fikri ke sana untuk menjenguknya setelah kemoterapi." Fikri mulai menceritakan hal yang selama ini disembunyikannya.
"Kemarin juga, Mikha bilang ingin bertemu bapak. Apa bapak bisa menemui Mikha?" Tanya Fikri dengan nada suara ragu.
Yudi masih diam. Ia mengalihkan pandangannya pada dua frame yang terletak di sudut ruangannya. Ada fotonya bersama Lilis dan yang satu bersama almarhuma istrinya.
Yudi tersenyum kecut. "Maaf, Fikri."
🌙
Jakarta, Agustus 2018
Setelah dua kali menjalani kemoterapi, kondisi Mikha semakin membaik. Meskipun ia harus rela kehilangan lebih banyak berat badan dan helai rambutnya.
Hari ini, Mikha memaksa Raka dan Rio untuk menemaninya ke Rumah Singgah. Ia sudah rindu bertemu dengan Bian dan Pia.
Saat masuk melewati pintu depan, mereka bertiga disambut hangat oleh Bian. Anak-anak pun terlihat senang melihat kehadiran Mikha dan dua lelaki di belakangnya.
Pia mendekati Mikha yang tengah ditemani Rio.
"Kak Mikha, lama sekali tidak ke sini." Ucap Pia.
"Maaf, ya? Kakak baru kurang enak badan." Jawabnya.
Pia menggerakkan tangannya untuk mengelus rambut Mikha yang semakin tipis. Saat tangan kecil itu lepas, beberapa helai rambut ikut tersangkut di jarinya. Tatapan gadis itu menjadi kaku.
Mikha tersenyum, lalu menyentuh tangan kecil Pia. "Pia kenapa?"
"Kak Mikha habis kemo, ya?"
Mikha hanya membalas dengan senyuman.
"Kak Mikha nggak takut jadi botak kaya aku?" Tanya Pia dengan nada polos.
Mikha kembali tersenyum, "Kakak tidak takut. Karena kakak mau sembuh, jadi kakak akan berkorban untuk itu." Jawab Mikha.
Pia tersenyum. "Kak, hari ini adalah hari terakhir Pia di rumah singgah."
"Kenapa?"
"Besuk, Pia akan operasi di Singapura," Pia menjawab tanpa semangat. "Kata Kak Bian, Singapura itu jauuuuh sekali. Pia nggak mau jauh dengan teman-teman."
Mikha langsung memeluk Pia. Setelah beberapa saat, Mikha menahan tubuh Pia keluar dari pelukkannya. "Kamu dan teman-teman tidak akan jauh," Mikha menjeda kalimatnya.
"Karena mereka tersimpan di sini." Mikha menggerakkan tangannya ke dada Pia. "Semua yang di sini pasti ingin sembuh. Dan sekarang, Pia diberi kesempatan untuk selangkah lebih cepat."
Pia tersenyum. "Terimakasih, Kak. Pia sayang Kak Mikha. Semoga, saat Pia pulang nanti, Kak Mikha juga sudah sembuh. Terus nanti kita main-main di taman."
Mikha mengangguk semangat.
"Mikha?" Suara Bian menghentikan percakapan antara Mikha dan Pia.
"Ada apa, Bi?"
"Ada yang mau ketemu kamu."
"Siapa?"
"Biar Rio yang antar."
Mikha mengangguk. Rio pun bergegas membantu Mikha menuju pintu depan.
"Mikha!"
Mikha menatap Raka yang baru saja memanggil namanya. Namun, manik matanya tak bisa lepas dari sosok yang kini berada di sisi kanan tubuh Raka.
"Bapak?"
🌙
KAMU SEDANG MEMBACA
ALUM
Teen Fictiona.lum (adj) : layu "Satu hal yang aku percaya tentang kepergianmu. Kamu akan pulang." Best Rank 1 dalam #lepas (12 Juli 2019)