25| Pia

44 8 0
                                    

Jakarta, Mei 2018

Ini akan jadi kedatangan kedua Mikha ke Rumah Singgah. Namun, ia tidak datang bersama Arzam. Ia sendirian atas izin dari ibunya.

Ia baru saja pulang dari rumah sakit untuk check up dan sejak itulah perasaannya tidak tenang. Hasil baru akan keluar besuk, tapi dokter yang memeriksanya terlihat kurang bersemangat.

Dengan dibantu supir taksi, Mikha kembali ke kursi rodanya. Ia pun susah payah menggerakkan kursi rodanya untuk masuk ke rumah singgah.

"Selamat siang!" Sapa Mikha di ambang pintu.

Bian yang melihat Mikha segera mendekat. Senyumnya merekah sempurna. "Mikha, kamu sendirian?"

Mikha hanya tersenyum. "Aku boleh kan main ke sini?" Tanya Mikha.

"Boleh banget! Anak-anak pasti seneng kalau punya teman baru," Jawab Bian. "Kita masuk, yuk? Aku kenalin sama mereka." Bian pun mendorong kursi roda Mikha menuju ruang tengah yang terdapat anak-anak.

"Halo, semua!" Panggil Bian. Setelah mendapatkan semua perhatian anak-anak ia pun mulai berucap, "Kenalkan dia Kak Mikha yang kemarin. Sekarang, Kak Mikha akan menjadi teman baru kalian." Seru Bian.

Beberapa anak berseru senang. Kemudian mendekat ke Mikha untuk memperlihatkan hasil gambaran mereka. Atau beberapa hanya memperkenalkan diri. Mikha yang kualahan sesekali tertawa melihat tingkat dan ucapan lucu mereka.

Setelah anak-anak mulai menjauh, Bian mendekati Mikha. "Aku ke sana dulu, ya?" Pamit Bian.

Mikha mengangguk. "Terimakasih, ya, sudah menerimaku sebagai teman."

Bian tersenyum, lalu melangkah pergi.

Mikha menatap keluar jendela. Semburat cahaya jingga mulai menghiasi langit Jakarta.

"Kak Mikha."

Mikha segera mengalihkan pandangannya ketika namanya dipanggil. "Iya. Ada apa?" Tanyanya mencoba ramah.

Gadis kecil itu mengulurkan tangan kanannya. "Namaku Erfiana." Ucapnya dengan senyuman manis di wajahnya yang pucat.

"Erfiana? Namamu indah."

"Kak Mikha mau panggil aku Pia?"

"Pia?"

Gadis itu mengangguk.

"Baiklah, Pia. Ada apa?"

Gadis bernama Pia itu tersenyum senang. "Aku suka rambut Kak Mikha. Panjang, hitam, dan indah sekali," Pia berucap sambil mengelus lembut rambut Mikha.

"Dulu, rambutku juga indah seperti ini." Ucap Pia dengan suara parau. "Tapi sekarang, semuanya sudah rontok."

"Pia sakit?"

Pia mengangguk. "Kata Bunda, Pia punya kanker sejak kecil. Bunda bilang kalau Pia mau sembuh, Pia harus kemoterapi. Dan setiap kemoterapi, Pia dibelikan mainan baru."

"Tapi, Pia nggak mau kemoterapi lagi."

"Kenapa?"

"Sakit, Kak."

Mikha tersenyum. "Kakak juga pernah kemoterapi. Tapi, cuma satu kali."

Pia menatap Mikha. "Kakak sakit apa?"

"Sesuatu yang buat kakak nggak bisa berjalan."

"Tapi, kok rambut kakak?"

Mikha menyibakkan rambutnya dan memperlihatkan alat bantu dengan di telinganya. "Ini gantinya, mungkin."
"Sebenarnya, kakak masih bisa mendengar, tapi kadang tiba-tiba agak nggak jelas gitu,"

Pia langsung memeluk erat Mikha. "Kak Mikha, kakak mau kan jadi kakak Pia? Pia selalu pengen punya kakak perempuan. Pia selalu pengen punya teman yang sama seperti Pia."

Mikha mengelus punggung kecil gadis itu. "Iya. Kakak kan ke sini juga untuk mencari keluarga baru."

"Terimakasih, Kak."

"Sama-sama."

🌙

Jakarta, Juni 2018

"Bagaimana, Mikha?" Tanya Dokter Dira pada Mikha yang tengah tertunduk merenung.

"Mikha nggak bisa putusin sekarang, Dok. Mikha masih takut."

"Kamu sudah pernah menjalaninya. Pasti bisa."

"Tapi sekarang kondisinya beda, Dok." Sangkal Mikha yang kini tak bisa menyembunyikan air matanya.

Lilis mengelus punggung putrinya.

"Kalau memang kamu butuh waktu, kamu bisa memikirkannya dulu. Tapi, saya harap, saat check up minggu depan kamu sudah punya keputusan." Simpul Dokter Dira yang kemudian diikuti senyuman.

Lilis mengangguk. "Terimakasih, Dok," Usai berucap, Lilis mendorong kursi roda Mikha keluar dari ruangan.

Sebelum pulang, sembari menunggu obat, Lilis mengajak Mikha ke taman rumah sakit. Ia menatap putrinya yang kini hanya melamun di kursi rodanya.

"Nak?" Panggil Lilis.

"Hm."

"Maafin ibu, ya?"

Mikha diam.

"Maaf karena ibu nggak bisa bikin kamu terus kemo sampai sembuh."

Mikha masih diam. Masih tak percaya bila penyakitnya kini kian memarah, padahal ia merasa sudah lebih baik.

"Bu," Mikha memanggil ibunya pelan. "Kalau Mikha kemoterapi, ibu bagaimana?" Tanya Mikha.

"Ibu ya akan tetap seperti ini. Terus menemani kamu dan mengusahakan yang terbaik buat kamu." Jawab Lilis dengan yakin.

"Ibu mau Mikha sembuh?" Tanya Mikha lagi.

"Ya, tentu saja. Ibu ingin kamu kembali sehat dan pulih. Terus, kita bisa pulang ke Bandung sama-sama."

Mikha mengembangkan senyumannya. "Apa ibu yakin kalau kemoterapi adalah cara terbaik untuk Mikha?"

"Ibu tidak tau. Tapi, mungkin itu salah satu jalan yang bisa buat kamu lebih baik."

"Kalau begitu, Mikha mau kemoterapi. Tapi, ibu harus janji kalau ibu akan selalu menemani setiap kemo."

Lilis tersenyum. "Terimakasih." Lilis berucap sambil memeluk putrinya.

🌙

ALUMTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang