24| Bianka

49 7 0
                                    

Arzam tersenyum, "Karena itu caraku memperkenalkanmu pada Jakarta."
"Sekarang aku yang bertanya,"

"Ya, aku kecelakaan karena-"

"Tidak." Potong Arzam. "Aku ingin mengganti pertanyaanku." Ucapnya.

Mikha mengangguk sebagai tanda mempersilahkan Arzam untuk bertanya.

"Apa kamu menjawab pertanyaanku dengan jujur tadi?" Tanya Arzam. "Maksudku, apa benar kamu lumpuh karena kecelakaan?"

Mikha menunduk, lalu menghela pelan. "Sebenarnya aku juga tidak sepenuhnya berbohong."

"Aku lumpuh setelah kecelakaan yang menimpaku dan Raka saat tahun baru." Jawab Mikha yang kini telah menatap Arzam. "Tapi bukan itu penyebabnya. Aku kena tumor otak, jadi kadang pendengaranku ikut terganggu. Dan karena itu juga sekarang aku menggunakan kacamata." Jelas Mikha.

Arzam menatap Mikha tak percaya. Tidak mungkin gadis yang begitu dicintainya kini terkena penyakit. Ia masih menatap seakan meminta penjelasan yang lebih.

"Aku sudah berhenti kuliah dan sekarang masih menjalani pengobatan. Tapi, sejauh ini kondisiku sudah lebih baik."

"Seberapa parah?" Tanya Arzam.

"Stadium dua."

Arzam sedikit merasa lega karena masih ada kemungkinan untuk sembuh.

Mikha terpaksa tersenyum. "Tapi, akhir-akhir ini, aku mulai sulit bicara."

"Tapi, aku bisa mendengarmu dengan baik!"

"Ya, aku selalu berharap bisa bicara dengan baik saat bersamamu."

Arzam bangkit dari duduknya. Ia melangkah mendekati Mikha. Dipeluknya gadis yang masih mengisi ruang hatinya itu dengan segala kehangatan. Ia menyesal menjauh dari Mikha jika ternyata begini keadaannya.

"Maafkan aku pernah pergi darimu." Bisik Arzam sambil berusaha menyembunyikan isakannya.

"Aku sudah menerimanya, kak. Aku pun sudah berjanji pada ibu untuk bertahan." Jawab Mikha.

🌙

"Kita mau kemana?" Tanya Mikha yang kini duduk di samping bangku kemudi mobil Arzam.

"Ke tempat yang akan kamu suka." Jawab Arzam. "Untuk menebus kerinduan juga."

Mikha tersenyum senang.

"Tapi, kondisi kamu baik-baik aja, kan? Kalau misalnya kamu pusing atau gimana aku anterin pulang. Kamu kan lagi sakit."

"Aku nggak papa, kak. Nggak usah khawatir."

"Baguslah."

Setelah hampir lima belas menit perjalanan, mobil yang dikendarai Arzam menepi ke sebuah bangunan di kiri jalan.

"Ini apa, Kak?" Tanya Mikha sambil melihat bangunan lewat kaca mobil.

"Rumah singgah. Buat anak-anak kanker." Jawab Arzam. "Sesekali aku ke sini untuk main sama anak-anak."

Arzam keluar dari mobil, lalu membantu Mikha untuk keluar dan kembali ke kursi rodanya. Dengan telaten, Arzam mendorong kursi roda Mikha menuju halaman rumah singgah.

Saat melewati pintu depan, Mikha dibuat kaget dengan kondisi di hadapannya. Beberapa anak yang terlihat kurus, pucat, bahkan gundul tengah duduk bersila mendengarkan cerita dari seorang gadis di hadapan mereka. Ada pun beberapa yang duduk di sisi lain ruangan sambil bermain.

"KAK ARZAM!" Teriak salah satu anak yang tadi mendengarkan cerita. Ia langsung bangkit untuk memeluk Arzam. Mikha melihat Arzam menyambut gadis kecil itu dengan senang.

Seluruh fokus anak-anak itu berpindah pada Arzam dan Mikha, termasuk gadis yang tadi sibuk bercerita. "Sepertinya Kak Arzam bawa teman baru." Seru gadis itu. Ia bangkit lalu mendekati Mikha dam Arzam.

"Zam? Kamu nggak mau kenalin dia?"

Arzam mengangguk. "Selamat siang semua. Hari ini, Kakak bawa teman baru!" Seru Arzam penuh semangat. "Namanya Kak Mikha!"

"Halo Kak Mikha!" Teriak anak-anak nyaris bersamaan.

Mikha tersenyum senang. "Hai semua! Semoga kalian suka, ya, sama kehadiran kakak." Ucap Mikha.

"Sepertinya, kita juga harus kenalan." Ucap gadis yang tadi bercerita. "Aku Bianka. Tapi, aku anak-anak manggilnya Kak Bibin. Kamu panggil aku Bian aja, ya?"

Mikha mengangguk, lalu menjabat tangan Bian. "Senang berkenalan denganmu." Jawab Mikha.

"Gimana kalau kita bicara dulu? Biar Arzam yang sama anak-anak. Aku rasa kamu perlu mengenal tempat ini lebih jauh, Right?"

Mikha mengangguk setuju. Bian pun  mendorong kursi roda Mikha meninggalkan ruangan menuju sebuah taman di samping bangunan.

"Aku senang akhirnya Arzam ngajak seseorang buat ke sini." Ucap Bian.

"Aku juga senang bisa ke sini."

"Ya, nggak semua orang mau terlibat sama kebahagiaan anak-anak tadi. Mereka cuma butuh tempat dan teman bermain, jadi kami berusaha memberikannya di sini," Jelas Bian.

"Ada dua puluh anak yang pernah terdaftar di rumah singgah ini. Tapi, sekitar tujuh dari mereka sudah menemui ajalnya. Ada dua anak yang pulang karena kondisinya telah pulih.

"Nggak ada yang tau bagaimana kehidupan mereka besuk. Kadang yang hari ini main-main sama yang lain, besuknya dia masuk ICU. Itu udah jadi hal yang lazim di sini. Mereka saling menguatkan meskipun nggak terlihat. Itu yang buat aku bertahan di sini."

"Rumah singgah ini milikmu?" Tanya Mikha.

Bian menggeleng, "Ini milik almarhuma nenekku. Saat beliau meninggal, beliau ingin memberikan kebahagiaan pada anak-anak kecil terutama mereka yang menderita penyakit berbahaya seperti yang beliau alami.

"Aku sangat menyayangi nenekku. Karena itu, aku mau terlibat di sini. Meneruskan mimpi beliau membantu membahagiakan mereka."

Mikha mendahulukan senyumnya sebelum berucap. "Aku mungkin merasakan apa yang mereka rasakan."

Bian menatap Mikha.

"Sebenarnya, Kak Arzam mengajakku kemari karena ingin menghiburku."

"Kenapa?"

"Aku sakit. Bisa dibilang mirip dengan mereka, tapi tidak masalah. Aku ingin membantu mereka juga."

"Kalau boleh tau-"

"Tumor otak." Jawab Mikha. Menurutnya tak ada gunanya menyembunyikan penyekitnya, toh itulah kenyataannya. "Dan aku sudah dibuat lumpuh karenanya." Lanjut Mikha.

Mikha menyibakkan sisi rambutnya yang menutupi telinga. "Aku pun harus menggunakan ini untuk bisa mendengarmu dengan jelas." lanjut Mikha.

"Mikha?"

"Tapi, aku kemari bukan untuk jadi pasien seperti mereka." Sangkalnya segera. "Aku ingin sepertimu. Membantu mereka untuk kembali tertawa."

🌙

ALUMTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang