20| Langkah Baru

47 7 2
                                    

Bandung, Januari 2018

"Sekarang aku tidak bisa naik ke sana lagi," Mikha berucap sambil menatap kosong rumah pohon.

Raka pun berjongkok di depan gadis yang kini duduk di kursi roda itu. "Kalau kamu mau, aku bisa turunkan."

"Turunkan pakai apa? Pakai rumus matematika?"

Raka tersenyum tipis. Tapi, senyuman itu mendadak hilang ketika melihat kaki Mikha yang kini tak berfungsi lagi.

"Raka, kamu mau kembali ke Depok kapan?"

Raka tak menjawab. Jujur, ia masih takut untuk berkendara mengingat kejadian yang terjadi kemarin.

"Raka," Mikha menyentuh bahu Raka. "Tidak ada yang perlu ditakutkan. Oke?"

Dengan ragu, Raka mengangguk. "Aku cuma takut dengan kondisimu, Mik." Ucap Raka untuk menutupi keadaannya. "Kamu pasti akan kesulitan,"

"Aku percaya, kamu bisa bantu aku." Jawab Mikha.

Raka bergerak untuk memeluk Mikha. Dipeluknya hangat gadis itu, hingga ia pun enggan untuk memeluknya. Karena setelah sekian lama, akhirnya ia bisa kembali sedekat ini dengan Mikha.

🌙

Depok, Februari 2018

Hampir seluruh waktu liburan semester mereka habiskan di Bandung. Untuk mengulang kenangan dan memulihkan luka yang tercipta di antara mereka.

Hari itu, untuk pertama kalinya Mikha pergi ke kampus dengan kursi rodanya. Ada rasa takut menghantui dirinya, takut jika kondisinya tak bisa diterima oleh orang lain. Tapi, dengan adanya ibu di sisinya, semua ketakutan itu seakan hilang begitu saja.

"Mikha?"

Arina melangkah mendekati Mikha yang masih bersama ibunya.

Arina menyalami tangan Lilis kemudian meminta izin untuk membiarkannya yang membawa Mikha. Ia berusaha untuk mnghilangkan keterkejutannya akan kondisi Mikha.

"Are you okay?" Tanya Arina saat masuk ke area gedung fakultas.

"Harusnya aku yang tanya begitu. Kamu nggak papa dorong aku terus sampai kelas?"

Arina menghentikan gerakkannya mendorong Mikha. "Memang sudah seharusnya gue bantuin lo."

Mikha tersenyum. Bersyukur masih ada yang mau menerima kondisinya yang sudah tak sempurna.

🌙

"Nih," Arina menyodorkan sebotol air mineral pada Mikha. "Baca apaan, sih?"

Mikha menunjukkan buku yang sempat dibelinya saat bersama Raka.

"Eh?" Arina bergumam terkejut. "Lo suka bukunya?"

Tanpa malu, Mikha mengangguk mantap. "Entah kenapa aku ngerasa ini cukup ngewakilin perasaanku."

"Cielah!" Arina menyikut lengan Mikha. "Lo mau ketemu penulisnya?"

"Mau banget malahan. Soalnya waktu ada meet and greet di Jaksel, aku masih di Bandung."

Arina tersenyum singgung. "Gue bisa bantu lo ketemu dia."

"Serius?"

Arina mengangguk mantap.

"Kamu kenal sama penulisnya."

Arina bergumam kecil. "Ya... gimana, ya. Seperti yang lo tau lah, gue kan kerja di penerbit yang nerbitin buku itu."

Mikha mengangguk mengerti. "Emang boleh kalau aku mau ketemu? Ber.. berdua aja?" Tanya Mikha.

"Yah sepertinya dia malah akan seneng banget kalau bisa ketemu sama pembaca setianya."

"Ah, berlebihan. Aku bukan pembaca setianya. Cuman kagum aja sama bukunya yang ini."

"Ah, gapapa. Nanti gue bantu, oke?"

"Tapi, dengan kondisiku yang begini nggak papa?"

"Tenang aja. Kamu tinggal siapin bukunya buat dapat tandatangan. But, mungkin bukan dalam waktu yang cepat."

Mikha mengangguk. "Kamu mau usahain aja, aku udah seneng. Makasih, ya."

🌙

Arina begitu banyak membantu Mikha. Ia bahkan dengan senang hati memberi tumpangan Mikha menuju perpustakaan kampus dengan mobilnya. Meskipun, Arina harus meninggalkan Mikha menunggu Raka sendirian.

"Mi-kha?"

Mikha tersenyum ketika melihat Rio hadir. Senyuman getir karena ia tau Rio sedang terkejut melihat kondisinya.

"Lo kenapa, Mik?"

"Kecelakaan."

"Di mana? Kapan? Kok bisa?"

Mikha tak menjawab. Ia diam karena sesuatu tiba-tiba menganggu pendengarannya. Ada suara berdengung yang menghalangi suara Rio masuk.

"Mik?" Rio berusaha menggoncang pelan tubuh Mikha.

"Hm?"

"Kenapa?"

"Nggak papa."

"Jadi, lo kenapa bisa gini?"

Mikha hanya mengangguk pelan karena kesulitan mendengar pertanyaan Rio.

"Are you okay?" Tanya Rio khawatir.

"Hm? Iya."

"Mikha? Can you hear me?" Tanya Rio.

"Iya. Aku nggak papa, kok."

Rio mengambil sebuah note dari dalam tasnya. Ia pun menuliskan sesuatu dengan pulpennya di atas note tersebut. Can you hear me?

Membaca hal itu, tatapan Mikha menjadi getir. Ia merasa ada sesuatu yang salah dengan telinganya. Tangannya bergerak untuk menutup kedua telinganya, lalu memukulnya pelan berharap bisa mendengar dengan lebih jelas.

Namun, setelah itu, isakanlah yang keluar dari bibir gadis ayu itu. Ia ketakutan ketika telinganya mulai sedikit menuli. Rio segera mendekap sosok yang dicintainya itu.

"Rio, aku kenapa?!" Isak Mikha sambil memberontak kecil. "Rio tolong bicara!"

Rio tak berucap. Ia tak tau harus bagaimana. Menurutnya, ia hanya perlu mendekap Mikha untuk mengurangi perih yang dialami Mikha.

🌙

ALUMTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang