7| Markas Kenangan

90 9 0
                                    

Bandung, Agustus 2014

Mikha duduk di atas rumah pohon sendirian sambil menatap sepeda yang tergeletak begitu saja. Di pangkuannya, sebuah buku mimpi Raka terbuka di sana. Sebelum ujian nasional, Mikha dan Raka menulis sebuah buku yang berisi mimpi-mimpi yang ingin mereka wujudkan saat masuk SMA nanti. Setelah itu, mereka akan menukarkan buku itu.

Di buku Raka hanya ada satu mimpi yang tertulis, yaitu Selalu ada dan bersama dengan Mikha. Setiap kali Mikha membaca kalimat itu, rasanya seperti ketidakmungkinan yang bahkan jika dipaksakan pun tak mungkin berhasil.

"Raka, saat kamu pulang nanti, aku akan telah menjadi Mikha yang terbiasa tanpa kehadiranmu."

🌙

Jakarta, November 2014

Raka baru saja keluar dari kelasnya dengan wajah kusut. Pukul 4.30, seperti biasanya kelas baru saja selesai. Ia melangkah menuju gerbang sekolah untuk menunggu kakaknya menjemput. Setelah pindah ke Jakarta, Raka tak lagi mengayuh sepeda. Jakarta tidak mendukung kesukaannya.

Raka melihat jam yang melingkar di tangannya. Sebuah tanggal yang membuatnya gundah sepanjang hari. Hari ulang tahun Mikha yang ia lewatkan begitu saja. Ia tak mengirimkan pesan atau apapun untuk Mikha, hingga kini ia merasa begitu bersalah pada saudaranya itu.

"Harusnya aku ngasih kamu sesuatu, Mik. Bukan cuma diem aja begini." Keluh Raka pada dirinya sendiri. "Maaf, ya."

🌙

Bandung, November 2014

Mikha baru saja selesai kumpul bersama ekstrakulikuler siaran untuk membahas topik siaran radio sekolah besuk. Langit mendung memayungi Bandung sore ini, seiring dengan langkah Mikha menuju halte dekat sekolahnya.

Mikha mendongak menatap ke langit. Tatapannya kosong, mungkin berharap agar hujan tidak turun sebelum sampai di rumah.

"Mikha?"

Mikha mengalihkan tatapannya dari langit ke arah suara yang memanggilnya. "Kak Arzam?" Mikha berseru terkejut karena kehadiran sosok yang sudah lama meninggalkan Bandung.

"Hai, apa kabar?" Sapa Arzam dengan ramah.

"Baik, kak. Kakak gimana? Jakarta apa kabar?"

Arzam tersenyum. "Kamu selalu saja menanyakan Jakarta. Aku baik, hanya sedikit rindu saja denganmu."

Mikha tertawa renyah. "Tumben ke Bandung, kak. Ada latihan lagi?" Tanya Mikha.

"Enggak. Aku ke sini mau ketemu kamu." Jawab Arzam dengan nada sedikit menggoda.

Mikha tertawa lagi. "Serius, kak."

"Iya, iya." Arzam menjeda kalimatnya. "Aku mau ke rumah tanteku. Ingin berkunjung."

"Tapi, ini bukan akhir pekan lho, kak. Terus nanti sekolahnya gimana?"

"Jakarta-Bandung nggak sejauh itu, Mikha. Nanti malam aku juga akan pulang ke Jakarta. Kamu mau titip salam?"

Mikha tersenyum. "Ceritakan saja terus pada Jakarta tentang aku."

"Mau cerita apa? Cerita kita masih sedikit sekali." Jawab Arzam. "Kamu mau kasih aku cerita yang bisa aku ceritakan untuk Jakarta?"

Mikha menatap ragu ke  arah Arzam. "Ada," jawabnya singkat.

"Coba ceritakan! Aku akan mendengar dengan baik."

"Hari ini aku berulang tahun. Tapi, tidak ada yang ingat pada hari ulang tahunku." Ucap Mikha dengan pelan.

Arzam sedikit terkejut mendengar cerita dari Mikha.

"Aku ingin sekali Raka pulang hari ini, atau setidaknya dia mengucapkan selamat padaku." Lanjut Mikha.

"Sudah?" Tanya Arzam.

Mikha mengangguk kecil.

"Besuk ada ulangan harian?"

Mikha menatap Arzam bingung, tapi sedetik kemudian, ia menggeleng.

"Kalau begitu, nanti aku akan mengajakmu membuat bahan cerita untuk Jakarta. Kita akan bersenang-senang, oke?"

"Tapi, kak, kakak bilang nanti mau pulang."

"Ah, tenang aja." Jawab Arzam. "Nanti aku ke rumahmu, ya?"

Malu-malu, Mikha mengangguk.

Arzam tersenyum senang. "Kalau gitu, aku duluan, ya. Jangan lupa, tunggu aku!" Pamit Arzam. Mikha mengangguk, lalu membiarkan Arzam berlalu dari hadapannya.

Menjelang maghrib, Arzam benar-benar datang ke rumah Mikha. Mikha pun akhirnya diberi izin asalkan pulang sebelum pukul sembilan malam. Ada rona bahagia di wajah Mikha saat sang ibu mengizinkannya keluar malam itu.
"Kita mau ke mana, kak?" Tanya Mikha antusias.

"Em, karena ini Bandung, bagaimana jika kamu yang mengajak aku? Kan aku tidak tau banyak tentang Bandung."

Mikha berpikir sebentar. "Aku tau kita akan ke mana."

"Ke mana memangnya?"

"Rumah pohon."

🌙

"Wow!" Seru Arzam ketika melihat lampu tumblr berwarna kuning menyala mengelilingi rumah pohon tersebut.

Mikha menyembul keluar dari rumah pohon, lalu tersenyum. "Kak, mau naik?" Tanya Mikha.

"Boleh?"

"Boleh. Asalkan enggak masuk."

Arzam segera melangkah untuk naik ke rumah pohon. Ia duduk di samping Mikha dengan kaki bergelantungan. Mereka saling tersenyum ketika tak sengaja menatap.

"Mau cerita tentang rumah pohon ini?" Tanya Arzam.

Mikha menghela pelan. "Rumah pohon ini yang bikin adalah Ayahku. Waktu kecil, aku sama Raka sering diejek nggak bisa manjat pohon sama Kak Fikri dan Kak Putra. Akhirnya kami ngadu ke Ayah, akhirnya Ayah bikin rumah pohon ini, dekat dengan pohon yang sering dipanjat sama Kak Fikri. Itu pohonnya," Mikha menunjuk sebuah pohon di sisi kanannya.

"Setelah itu, aku dan Raka jadi satu tim, begitupun Kak Fikri dan Kak Putra. Kami saling ejek di atas dua pohon yang berbeda. Terus, kalau mulai hujan, Kak Fikri sama Kak Putra lari ke rumah pohon buat berlindung. Dan setelahnya, kami main monopoli sambil nunggu hujan reda." Mikha bercerita dengan penuh semangat mengingat awal-awal adanya rumah pohon ini.

Arzam melihat ke arah Mikha, gadis itu menatap ke arah lain seakan sedang melihat reka adegan masa kecilnya yang begitu indah.

"Sayangnya, waktu menggrogoti itu semua. Sekarang, kami sudah dewasa dan rumah pohon ini mulai terlupakan. Mungkin hanya aku yang masih suka duduk di sini menatap pemandangan sambil berdiam diri."

"Kenapa kamu ngelakuin itu?"

"Tidak tau. Rasanya menenangkan masih bisa duduk di sini."

Arzam tersenyum. "Aku juga punya markas saat masih kecil." Ucap Arzam.

"Benarkah?"

Arzam mengangguk yakin. "Sayangnya, markas itu sekarang sudah tidak ada lagi. Markasku sudah dibongkar jadi perumahan, jadi nggak bisa nostalgia seperti kamu."

"Yah, padahal aku pengen banget liat."
Arzam hanya tersenyum. "Suatu saat nanti kalau kamu ke Jakarta aku ceritain."

"Ah, emang kapan aku bisa ke Jakarta," keluh Mikha.

"Pasti ada saatnya suatu hari nanti."

🌙

Selamat mengenal Arzam
💐

ALUMTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang