23| Pertemuan

43 8 1
                                    

Jakarta, Mei 2018

Setelah Raka dan Rio kembali ke Depok hari itu, mereka belum berkunjung lagi. Kondisi Mikha tidak stabil, kadang ia merasakan sakit kepala hebat, namun kadang ia merasa sangat sehat.

Lilis pun melamar pekerjaan sebagai buruh pabrik untuk memenuhi kebutuhan pengobatan Mikha. Karena ia merasa tak enak jika harus melibatkan Fatma yang sudah berbaik hati memenuhi kebutuhan sehari-hari dirinya dan Mikha.

Mikha pun membantu pekerjaan rumah yang bisa dilakukannya di atas kursi roda. Seperti sekarang, ia tengah melipat baju-bajunya di ruang tengah.

Di tengah kegiatannya, terdengar suara pintu diketuk. Ia pun segera bergerak untuk membuka pintu.

"Tunggu sebentar!" Ucap Mikha sambil susah payah menggerakkan kursi rodanya ke pintu depan.

Daun pintu perlahan terbuka dan menampakkan sosok yang menjadi tamunya siang itu.

"Mikha?"

"Arina?"

"Mikha, lo kurus banget!" Seru Arina terkejut.

Mikha hanya tersenyum sebagai jawaban. "Mari masuk!" Ajak Mikha. Arina pun membantu Mikha bergerak masuk.

"Maaf, berantakan."

Arina mengangguk. "Akhirnya gue bisa ketemu lo dan segera menepati janji gue."

"Janji?"

"Gue kan pernah janji bakal usahain lo bisa ketemu sama penulis buku yang lo baca."

Mikha mengangguk pelan. "Aku udah lupa soal itu. Dan nggak mungkin juga aku ketemu dia karena kondisiku yang begini."

Arina menggeleng. "Pokoknya gue mau menepati janji gue. Gue juga udah bilang sama dia kok." Jawab Arina.

Arina tersenyum. "Lo tau, gue harus berulang kali bujuk Raka buat ngasih tau alamat rumahnya," Arina menjeda kalimatnya. "Dan karena lo di Jakarta dan dia juga di Jakarta, akan lebih mudah buat kalian ketemu."

"Tapi, aku malu,"

"Maaf sebelumnya. Gue udah ngasih tau dia tentang kondisi lo yang nggak bisa jalan. Sori, ya?"

Mikha menunduk kecewa.

"Tapi, dia mau ketemu bukan karena kondisi lo yang begini. Dia mau karena dia emang suka ketemu sama penggemarnya."

"Makasih, ya, Ar. Makasih kamu udah berusaha untuk buat aku ketemu dia. Tapi-"

"Nggak ada tapi! Lo harus ketemu dia, Mikha! Supaya gue nggak merasa punya utang, oke?"

Mikha menyerah. "Boleh, deh. Tapi, kamu juga ikut, kan?"

"Kalau lo mau nggak masalah."

🌙

Seperti yang direncanakan, Mikha dan Arina pergi ke sebuah kafe untuk bertemu dengan penulis buku yang disukainya.

"Gue udah chat dia lokasi kafe ini. Mungkin dia terlambat karena macet." Ucap Arina. "Pesen makan dulu aja, deh."

Arina mengangkat tangan untuk memanggil pelayan. Mereka pun memesan minuman dan camilan.

"Ar, ini nggak papa kalau cuma aku yang ketemu?"

"It's okay. Ini bukan pertama kalinya dia ketemu berdua sama penggemarnya."

Mikha hanya mengangguk.

Hampir setengah jam mereka menunggu. Arina sudah mulai muak karena menunggu terlalu lama. Beberapa kali ia menghubungi rekannya itu, tapi ia hanya diminta sabar.

"Sori. Lama banget, ya?"

Di tengah penantian dua gadis itu, muncul sapaan dari seorang lelaki.

Arina menatapnya lebih dulu. "Gila lo, lama banget!" Seru Arina sebal.

"Gue ada kelas tadi."

"Alah alesan aja lo!" Arina memukul lengan lelaki itu. "Btw, kenalin. Dia Mikha."
"Mikha, dia yang sejak tadi kita tunggu."

Mikha menatap lelaki itu. Tatapannya berhenti. Menjurus tajam ke manik mata lelaki itu. "Kak-Arzam?"

"Mikha? It's you? Bandung?"

Mikha tak bisa berucap, tapi diam-diam ia ingin bergerak untuk memeluk Arzam. Lelaki itu sudah lama dirindukannya.

"Kalian udah kenal?" Tanya Arina.

Tak ada yang menjawab pertanyaan Arina. Keduanya sibuk saling berpandangan seraya mepertanyakan apa yang akan terjadi.

"Oke." Arina yang merasa tak digubris mulai membuat keputusan. "Lebih baik gue ngasih ruang buat kalian berdua. Gue balik duluan." Arina pun melangkah pergi.

Arzam bergerak untuk duduk di kursi yang sebelumnya digunakan Arina.

"Kamu kenapa, Mik?" Tanya Arzam dengan nada khawatir.

"Aku nggak papa." Jawab Mikha sembari menunjukkan senyuman terbaiknya.

"Kak Arzam apa kabar? Kenapa kakak nggak pernah ke Bandung lagi?" Tanya Mikha.

"Nggak. Kamu kenapa pakai kursi roda?" Tanya Arzam.

"Kak Arzam kenapa nulis buku itu?"

Mereka masih sibuk menanyakan pertanyaan masing-masing. Yang tentunya enggan untuk menjawab pertanyaan daei sisi yang lain.

Mikha menghela napas. "Aku senang akhirnya kita bisa bertemu lagi, kak. Dan pertemuan kita di Jakarta bukan di Bandung lagi." Mikha memutuskan menengahi hujan pertanyaan yang sempat terjadi.

Sayangnya, Arzam tak menjawab.

"Boleh aku yang mulai bertanya?"

Arzam mengangguk.

"Kenapa Kak Arzam pergi hari itu?"

"Karena Raka sudah kembali." Jawab Arzam tanpa ragu. "Tujuanku hanyalah untuk menemanimu saat Raka pergi. Jadi, saat dia kembali, sudah selayaknya aku pergi."

"Sekarang aku yang akan bertanya." Ucap Arzam.
"Kenapa kamu menggunakan kursi roda? Apa yang terjadi?"

"Aku kecelakaan," Mikha menjawab dengan ragu. Haruskah ia memberitahu kondisi sebenarnya?

"Bagaimana bisa?"

"Aku tidak mau menjawab." Jawab Mikha. "Sekarang kesempatanku untuk bertanya."

Mikha bersiap untuk bertanya. "Kenapa Kakak menulis buku itu?"

Arzam tersenyum. "Karena itu caraku memperkenalkanmu pada Jakarta."

🌙

ALUMTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang