"Orang memerlukan dua tahun untuk bicara, tapi butuh waktu lima puluh tahun untuk tutup mulut"
- Ernest Hemingway -❤❤❤
Akhirnya Salwa mengalah dan memilih menetap di kampungnya. Tidak tega rasanya menolak permintaan sang nenek. Selama ini jarang sekali Neneknya meminta sesuatu padanya.
Barang-barang Salwa selama bekerja dulu sudah selesai urusannya. Sebahagian dibagikannya pada temannya sesama perantau dan ibu kostnya yang selama ini sudah baik padanya. Entah kenapa pas mau pulang kemarin dia membagikan isi kosannya.
Untuk baju beberapa bukunya dan barang pribadi lainnya baru sampai hari ini. Salwa berterima kasih pada Ibu Nini pemilik kosnya yang sudah berbaik hati mengirimkan barang pribadinya.
Wanita yang sudah dianggapnya sebagai ibu sendiri itu marah karna tidak pamit untuk terakhir kalinya. Tapi tetap tidak bisa menolak permintaannya yang meminta barangnya yang disana dibagikan dan sebahagian lagi dikirimkan.
Salwa berjanji suatu saat akan datang kesana. Tapi entah kapan dia belum bisa memastikan. Kota itu akan selalu dirindukannya. Kota yang banyak memberi pelajaran berharga bagi salwa. Dari kota itulah dia tau arti hidup yang sebenarnya.
Berjuang keras untuk berada di posisi sekarang. Mengorbankan segala masa remajanya untuk bekerja dan kuliah tanpa kenal lelah. Tapi Salwa tidak pernah menyesali keputusannya.
Pagi ini Salwa memindahkan barangnya ke kontrakan yang berada di belakang rumah sang nenek. Salwa memilih tinggal sendiri. Bukan apa-apa terbiasa hidup sendiri selama ini sudah membuatnya nyaman.
"Perlu tante bantu?" tanya tantenya saat dia mendorong kopernya.
"Nggak usah tante ini ngak berat kok. Bentar lagi juga kelar," Salwa tidak tega merepotkan sang tante yang sudah pasti kerepotan sekarang mengurus neneknya.
"Ya sudah kalau butuh bantuan panggil tante saja," Salwa menganggukkan kepalanya.
Setelahnya dia mengisi lemarinya. Meski menguras isi tabungannya tapi Salwa tidak punya pilihan lain selain kembali membeli seluruh perabotan rumahnya.
Salwa bersyukur memiliki sang nenek yang mengingatkannya untuk berinvestasi dulu. Dan dia memilih investasi properti. Beruntung minggu lalu ada yang tidak memperpanjang kontrak hingga Salwa bisa menempati. Setidaknya dia punya alasan untuk tinggal sendiri.
❤❤❤
Sore harinya Rina mengajaknya jalan-jalan naik motor yang disanggupi Salwa. Saat melewati gang rumahnya dia tau para ibu-ibu disana menggosipkannya.
Bertahun-tahun tinggal di kota orang membuat Salwa tidak memperdulikan lagi. Jika dulu dia bisa menangis mendengar gosip tentangnya sekarang tidak akan lagi. Dia sudah kebal mendengarnya. Nyatanya waktu telah banyak merubahnya.
Dia sadar tidak akan pernah bisa membungkam mulut para penggosip itu. Yang bisa dilakukannya hanyalah diam dan bersikap masa bodoh dengan nyinyiran mereka. Diladenin juga semakin panjang urusannya lebih baik memilih diam.
Mereka yang suka menggosip biasanya hanya melihat kesalahan orang lain tanpa melihat kesalahan diri sendiri. Lebih mudah membicarakan orang lain daripada melihat aib sendiri.
"Mereka mengatai kakak. Aku nggak terima," Rina sepupunya terlihat emosi mendengar gunjingan ke Salwa.
"Udah biarkan aja. Mungkin dengan begitu mereka bahagia," Salwa tersenyum. Senyum tanpa beban seakan itu tidak mengusiknya.
Dan Rina tidak habis fikir kakaknya diam saja saat dikatain begitu. Dia saja yang mendengar merasa panas apalagi Salwa "Tapi kak," protesnya
"Kita hanya punya satu mulut dek nggak akan menang melawan mereka. Daripada dilawan mending kita pergunakan tangan kita untuk menutup kedua telinga."
Mendengar itu Rina terdiam dan tersenyum bangga"Senang kakak banyak berubah."
"Waktu dan keadaan selalu bisa merubah manusia. Tinggal kita yang memilih berubah kearah lebih baik atau malah sebaliknya," mendengar itu Rina mengangguk setuju.
Pulang kembali ke kota kelahirannya
selalu membangkitkan segala kenangan yang telah lampau. Seperti saat ini, jalanan yang dilaluinya adalah jalan yang dilewatinya saat kesekolah dan ke sawah mereka dulu.Meski sudah banyak perubahan dari kotanya, tapi ingatan akan masa lalu masih segar diotaknya. Seakan semuanya baru terjadi kemarin. Tidak ada yang terlewat satupun.
"Kakak mau kerja apa sekarang?" Rina memecah kebisuan diantara mereka.
"Belum tau nih Rin. Masih nikmatin waktu dulu,"
"Iya sih. Capek ya kerjanya,"
"Capeknya hilang saat terima gaji dek," mendengar itu Rina tertawa "Berhenti disana yuk," ajaknya saat melihat penjual es kelapa.
Memarkirkan motornya mereka memesan dan duduk di kursi plastik yang disediakan. Disekitar mereka banyak juga para remaja dan orang dewasa yang menghabiskan waktu sorenya untuk bersantai.
"Dulu tempat ini masih hutan ya. Sekarang udah banyak berdiri pertokoan," komentar Salwa sambil memandangi sekelilingnya.
"kakak jualan aja disini," usul Rina yang membuat Salwa langsung kaget.
"jualan apa?" keningnya berkerut memikirkan ide sepupunya.
"Tas sama sepatu kak. Rina lihat tas dan sepatu kakak selalu bagus. Up to date."
"Terus tokonya," Salwa terlihat ragu.
"Ya ngontrak aja dulu kecuali kalau kakak punya duit diriin ruko,"
"Duit kakak nggak sebanyak itu. Tapi bisa lah dipertimbangkan."
Melihat sarannya diterima Rina tersenyum "Aku daftar jadi karyawan ya kak," yang dibalas Salwa dengan senyuman dan acungan jempol.
Mungkin Rina benar, Salwa harus membuka usaha. Dia harus membantu biaya pengobatan sang nenek. Dia juga tidak akan betah hanya menghabiskan waktu seharian tanpa bekerja.
Meski dari hasil kontrakannya sudah bisa membiayainya tiap bulannya. Tapi terbiasa kerja dari kecil membuat Salwa lumayan kaget saat tidak bekerja begini. Tubuhnya seakan beradaptasi kembali seperti sebelum dia merantau dulu.
Usul Rina ada bagusnya juga. Dia lumayan banyak punya kenalan yang punya usaha home industri saat merantau dulu. Meski home industri tapi kualitasnya nggak bisa dianggap remeh.
Dengan begitu Salwa bisa membantu pemasaran usaha mereka dan dapat tambahan penghasilan juga. Tidak perlu besar tokonya yang biasa aja tapi isi dalamnya lengkap dan sesuai kebutuhan perempuan masa kini.
Ah, rindu...
Ternyata sejauh apapun aku melangkah ada setitik rasa yang tak bisa kusangkal. Dia hanya tersimpan rapi di sudut hati yang bisa saja hadir tanpa permisi.*Sumatera utara, 28 Maret 2019/ Sabtu, 16 januari 2021.
KAMU SEDANG MEMBACA
Kembali Pulang
RomanceMenapaki kota ini mengingatkanku akan masa lampau. Rasa sakit dan kecewa itu masih ada. Salwa Haura Masih sama dan akan terus sama. Hadi Uwais siregar