-Sembilan Belas-

3.3K 275 5
                                    

            "Bahagia bukan selalu tentang materi, tapi tanpa harta juga semua tidak mudah"
                         -Unknown-
                          ❤️❤️❤️

         

      Salwa menemui Pak Siregar menjelang berakhirnya waktu istirahat. Sengaja memang. Dia belum tau apa yang akan disampaikan Pak Siregar.

    Jaga-jaga semisal bakalan terjadi hal yang tidak mengenakkan. Dengan begitu dia bisa pergi dengan beralasan waktu makan siang sudah selesai.

     Sebagai mantan bupati dan walikota beberapa periode, sosok Pak Siregar sangat dihormati di kalangan pemerintahan provinsi mereka.

    Siapapun tau dia merupakan pejabat yang punya integritas tinggi. Meski sudah tidak menjabat sebagai walikota, beliau masih aktif sebagai penasehat pemerintahan.

      Salwa mengurai kegugupan yang tiba-tiba melandanya begitu sampai di ruangan yang dituju. Mengatur pernafasan dan berfikir positif.

   Salwa mengetuk pintu, mendapat sahutan dari dalam barulah dia membuka pintu bercat coklat tersebut.

    Begitu pintu terkuak sosok Pak Siregar sedang duduk di meja kerjanya. "Siang,Pak." Salwa mengangguk sopan.

"Siang. Silahkan duduk." Pak Siregar menutup buku yang tadi dibacanya lantas berjalan ke sofa yang tidak begitu jauh dari kursi kebesarannya.

     Salwa mengikuti. Duduk dengan sopan dihadapan sosok kharismatik tersebut. "Mau minum apa?" ditanya seperti itu tentu saja Salwa kaget. Namun buru-buru menormalkan ekspresinya.

    Masih dengan senyum formal dan sopan Salwa menggeleng. "Terimakasih,Pak. Tapi tidak usah."

"Baru balik makan siang?"

"Maaf,Pak."ringisnya merasa bersalah mengabaikan perintah Pak Siregar.

"Nggak,Pa-pa. Lagipula bukan masalah yang mendesak." tanpa sadar Salwa mendesah lega. Padahal dia sudah memikirkan hal-hal negatif sejak tadi.

"Betah bekerja disini?"

"Sejauh ini betah,Pak." Jujur Salwa. Pembicaraan mereka terasa lancar. Salwa berpendapat ini cara beliau mengurai kecanggungan. Agar Salwa merasa rileks dan tidak tegang seperti awal masuk.

"Hubunganmu dengan Hadi baik?" Salwa sebenarnya bingung mendeskripsikan hubungan mereka.

"Bisa dibilang tidak baik pak."

"Kenapa?"

"Saya sadar diri dia sudah punya tunangan." Entah kenapa Salwa lancar saja membahas hubungannya dengan Pak Siregar. Ayah kandung Hadi.

"Kamu nggak mencintai Hadi?" Selidik Pak Siregar. Salwa tersenyum singkat.

"Saya mencintai dia. Tapi bukan dengan jalan menyakiti orang lain."

"Tanpa perlu saya jelaskan kamu pasti faham kalau Hadi hanya mencintai kamu." Salwa diam,bingung bereaksi seperti apa.

"Tapi perlu kalian ingat hal yang terjadi di masa lalu jangan sampai terulang. Itu hanya merugikan kalian sendiri."

 "Itu kebodohan masa muda yang saya sesali sampai hari ini."

"Tapi sekalipun Hadi memilih saya semua tidak akan mudah,Pak. Restu Ibu tidak pernah ada untuk saya."ungkap Salwa sekalian.

"Kalian bisa berjuang sama. Batu yang keras sekalipun kalau ditetesi air terus-menerus bisa berlubang. Tapi saran saya sebagai suami dari istri saya lakukan pelan-pelan."

Kembali PulangTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang