-Sembilan-

4.5K 350 17
                                    

"Semakin dewasa semakin kita sering berhadapan dengan sesuatu yang tidak kita sukai. Tetap harus dihadapi"
                          - Anonim -
                            ❤❤❤

       Rutinitas biasa sampai di kantor yang terlihat membosankan namun tak bisa ditolak ya berkutat dengan pekerjaan yang tak ada habisnya.

"Repot ya tahun ini. Belum akhir tahun sudah minta laporan." gerutu Lina memadangi pekerjaannya yang seabrek.

"Iya nih mana harus sekalian laporan tahunan juga." mendengar gerutuan teman-temannya Salwa hanya tersenyum tipis.

     Memejamkan matanya tanpa sadar Salwa menitikkan air mata. Hari ini bertepatan dengan kelahiran seseorang. Yang pernah Salwa cintai dengan sangat dalam namun menyakitinya dengan begitu dalam juga.

"Kamu kenapa Wa?" tanya Rahayu yang memang kursinya berdekatan dengan Salwa.

"Nggak kok kak," elak Salwa yang mencoba tersenyum meski dia tau Rahayu tidak akan percaya melihat raut wajahnya.

        Sebelum menimbulkan banyak pertanyaan, Salwa ke kamar mandi. Dia perlu membasuh wajahnya.

       Saat keluar dari kamar mandi. Salwa dikagetkan dengan tangannya yang di genggam seseorang. Saat membalikkan badannya Salwa kaget bukan kepalang. Berusaha melepaskan cengkraman itu yang justru terlihat sia-sia. Bukannya terlepas malah semakin kuat.

"Aku mau bicara dan nggak terima penolakan." mendengar nada tegas yang jarang didengarnya membuat Salwa terpaku. Antara takut dan gugup. Tidak jadi pusat perhatian Salwa mengiyakan.

   Melihat Salwa tidak mencoba berontak lagi Hadi melepaskan cekalannya. Salwa mengelus lengannya yang memerah akibat cengkreman Hadi.

"Maaf," bisiknya namun diabaikan Salwa.

   Hadi berjalan mengikuti Salwa uang menunduk di depannya sambil sesekali menyentuh lengannya. Perasaan bersalah mengusai Hadi. Akibat tindakan gegabahnya dia kembali menyakiti Salwa.

     Salwa terus melanjutkan langkah. Saling diam dengan pemikiran masing-masing. Beruntung lorong kantor lagi lengang. Hingga orang-orang tidak memperhatikan. Mereka sampai di kantin belakang Dinas perhubungan.

"Mau ngomong apa?" Salwa to the point tak ingin basa-basi.

"Abang mau minta maaf kejadian 8 tahun lalum" mendengar itu Salwa menatap lelaki di hadapannya dengan sorot mata penuh luka. Hadi sampai terkesiap melihatnya.

   Untuk pertama kalinya setelah sekian lama dia benar-benar menemukan mata yang menyorotnya dalam tersebut. Namun hanya sepersekian detik mata itu sudah berubah menjadi tenang bahkan tak terbaca.

"Nggak ada yang salah sebenarnya, Mungkin emang takdirku yang begini." Setelah memikirkan semuanya Salwa sadar semua yang terjadi adalah takdirnya, bukan salah siapapun.

"Semua salah Abang yang nekat membawamu kabur dulu. Andai Abang mendengarkanmu pasti kita ngak akan kayak gini."

"Nggak ada gunanya menyesali semua sudah terjadi. Anggap saja itu hanya cerita masa lalu." ringan Salwa sementara Hadi menggeleng tak setuju.

"Abang nggak bisa. Semua yang terjadi itu bukan cerita masa lalu. Tapi jalan terindah yang pernah abang lalui."

"Mungkin buat kamu terindah tapi tidak untukku. Setelah kejadian itu aku harus kehilangan ibuku. Orang tuaku satu-satunya." tekan Salwa. Mata yang tadinya sudah tak peduli kini kembali menyorot tajam.

    Wajah Salwa mengeras. Luka itu kembali naik. Luka yang sebenarnya belum kering benar.

      Hadi terdiam lemah. Meninggalnya Ibu Salwa merupakan pukulan terberat baginya. Saat itu dia sadar telah menghancurkan hidup Salwa dengan begitu dalam. Bahkan dia bersujud sekalipun tidak akan mengembalikan semua ke tempat semula.

Kembali PulangTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang